BacaJogja – Suasana pagi di Lapangan Trirenggo, Minggu (20/7/2025), terasa berbeda dari biasanya. Kabut tipis belum sepenuhnya sirna ketika barisan peserta upacara mulai memenuhi lapangan.
Pakaian adat Jawa yang dikenakan oleh ratusan peserta tampak anggun dan penuh wibawa. Di tengah derap langkah yang teratur dan senyap, sebuah benda pusaka digotong dengan penuh kehormatan — inilah Kyai Agnya Murni, pusaka kebanggaan Kabupaten Bantul.
Pusaka ini bukan sembarang benda. Kyai Agnya Murni adalah hadiah dari Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Hari Jadi Bantul ke-169 tahun 2000. Nama “Agnya” berarti perintah, sementara “Murni” berarti suci.
Baca Juga: Kronologi Kecelakaan Avanza Tabrak 9 Motor Pelayat di Rumah Duka Sanden Bantul
Maka tak heran jika pusaka ini diangkat sebagai simbol integritas dan ketulusan dalam menjalankan amanah pemerintahan. Kirab pusaka yang mengawali Upacara Ageng Hari Jadi ke-194 Kabupaten Bantul menjadi lambang spiritual yang kuat — semacam doa yang tak terucap, tapi terasa mengalir di udara.
Tahun ini, peringatan hari jadi mengangkat tema: “Bantul Bumi Satriya Sawiji Ambuka Kertaning Praja.” Tema ini bukan sekadar slogan. Ia adalah cermin jati diri Bantul: wilayah agraris yang menjunjung tinggi nilai kesatria, memiliki semangat kebersamaan (sawiji), terbuka pada kemajuan (ambuka), namun tetap berpijak pada tradisi dan nilai lokal dalam menata pemerintahan (kertaning praja).
Usai kirab, suasana berubah syahdu dan menyentuh saat 100 siswa-siswi SMKN 1 Kasihan menghadirkan pertunjukan tari kolosal “Jiwo Bumi Jiwo Samudero.” Tarian ini bukan pertunjukan biasa. Setiap gerak dan irama yang dibawakan menggambarkan keselarasan manusia dengan bumi dan alam semesta.
Baca Juga: Viral Operasi Patuh di Parkiran Pabrik Brebes, 116 Motor Ditilang dalam 15 Menit
Spirit leluhur, kesuburan tanah Bantul, dan kekuatan jiwa para kesatria seolah menjelma dalam gerakan yang ritmis dan puitis. Penonton terdiam, seolah diajak merenung: inilah wajah Bantul — lembut tapi kokoh, bersahaja tapi kuat.
Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X, hadir sebagai inspektur upacara, menyimak dengan tenang rangkaian demi rangkaian prosesi sakral. Ia menyaksikan langsung pemaparan Nawala Bupati — laporan tahunan dari Bupati Bantul Abdul Halim Muslih kepada pemerintah DIY, disampaikan di hadapan Forkompinda, Wakil Bupati, kepala OPD, dan panewu se-Bantul. Ini bukan hanya laporan kerja, tapi bentuk tanggung jawab moral, transparansi, dan akuntabilitas kepada rakyat dan leluhur.
Dalam pidatonya, Bupati Halim menegaskan bahwa karakter kesatria bukanlah warisan simbolik, melainkan telah mengakar dalam sejarah Bantul.
Baca Juga: Waspada Gelombang Tinggi di Laut Selatan, Ini Prakiraan Cuaca DIY Senin 21 Juli 2025
“Saya pastikan warga Bantul memiliki DNA satriya. Sejarah menguatkan kesimpulan ini, karena banyak warga kita dulu turut berjuang untuk kemerdekaan. Kini, semangat itu harus kita warisi: greget, sawiji, golong gilig, sengguh, ora mingkuh,” ujar Bupati.
Upacara Ageng ini bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah ruang spiritual sekaligus sosial — tempat generasi muda menyerap nilai, tempat pemimpin mengingat jati dirinya, dan tempat masyarakat merasakan bahwa mereka bagian dari kisah besar yang bernama Bantul.
Dari kirab pusaka hingga tarian kolosal, dari laporan pembangunan hingga refleksi budaya, peringatan Hari Jadi ke-194 Bantul menunjukkan bahwa kemajuan bukanlah meninggalkan tradisi, melainkan melangkah bersama akar yang kuat. []