Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
Fenomena terbaru, jalanan tidak hanya dipenuhi para pengguna baik pejalan kaki atau pengendara, namun kini dijadikan ajang pergelaran tarik suara pengamen dengan alat musik serta perlengkapan tenda. Bak pertunjukkan “live” di kafe-kafe, di antaranya bahkan menggunakan soundsystem sebagai pengeras suara sehingga bisa terdengar sampai kemana-mana.
Di tengah hiruk-pikuk dunia, sebagian orang berusaha menghargai privasi sebagai ruang ideal untuk memperoleh dan sebisa mungkin dapat mencipta kedamaian, ketenangan di sana. Namun anehnya sebagian lain berusaha memecah kesunyian dengan berbagai kebisingan hingga menembus ruang seperti kamar pribadi sekalipun. Kontras!
Bukan tanpa alasan, kebisingan di jalanan terkadang tidak hanya dipandang sebagai persoalan bagi pengguna jalan raya, fenomena pengamen dengan suara terdengar hingga jauh, serta sering berlangsung sedari pagi hingga menjelang larut malam, bukan tidak mungkin dapat mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar. Bukan pada sisi budaya, namun kritik ini kiranya dapat membendung fenomena tersebut sebelum menjadi atau semakin membudaya.
Baca Juga: Tiga Pengamen Jalanan asal Bantul Berjualan Pil Koplo di Sleman
Di Kota Jogja khususnya, tidak hanya satu titik, bahkan fenomena ini bisa ditemukan di setiap titik utama lampu merah. Di banyak lampu merah kota, pengamen yang dahulu berpenampilan sederhana dan alat seadanya kini telah bertransformasi. Tidak hanya disesaki pengguna, jalan raya kini semakin ramai dengan fenomena ini, “panggung jalanan.”
Dikenal sebagai kota budaya dan kota pelajar, Jogja hingga kini masih menjadi kota primadona bagi para penuntut ilmu dari berbagai belahan bumi nusantara. Maka pentingi untuk menjaga kondusivitasnya. Bisa saja, fenomena yang dapat menjadi budaya baru yang sebelumnya tidak dikenal dapat mengikis kondusivitas tersebut yang selama ini senantiasa terjaga.
Baca Juga: Sepultura, Over Kill, hingga Slank Gebrak JogjaROCKarta 2023 di Kridosono Yogyakarta
Seperti kondisi malang bagi mereka yang tinggal di sekitar atau tidak jauh dari titik pergelaran tersebut atau pinggir jalan. Tidak hanya tatkala terjaga, aksi musikal tersebut bahkan bisa terdengar dan tidak terhenti terdengar hingga menjelang tidur. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan harus meminta pertanggungjawaban siapa, tatkala pertunjukan tersebut bahkan diketahui oleh banyak orang yang tentunya melewati kalan raya, serta menyaksikan mereka.
Kiranya diri sendiri saja mengerti dalam arti memahami untuk mempermaklumkan, kondisi tersebut adalah fenomena, meski baru namun banyak yang suka, serta berkata sendiri, “kecuali saya!” menjadi rumit tatkala pada satu sisi permakluman dijadikan alasan, namun sisi lain permakluman tersebut seolah disalahkan, makna, dan bahkan dimanfaatkan tidak pada kebenaran.
Permakluman bukan berarti membenarkan, maka sikap berlarut-larut terhadap permakluman dapat menjadi sikap menutup untuk memaklumi atau toleransi. Dan ini bisa bahaya!
Baca Juga: Dosen Prihatin Musisi Konser Orkestra di ISI Yogyakarta Sedikit
Mendebat fenomena panggung jalanan sebagai aksi yang dibenarkan sebenarnya pada kesempatan ini bukan waktu yang tepat, tidak juga menguji sisi manfaat, atau sekedar esensi musik atau ekspresi serta aktualisasi diri di dalamnya secara keseluruhan, sama sekali tidak tepat. Namun bukan berarti juga menutup diri untuk merenungkan serta mengambil hikmah dan manfaat dari kesemuanya sehingga diharapkan masih terdapat ruang untuk meleruskan ketersesatan.
Untuk dipahami, artikel ini tidak bermaksud untuk membungkam aksi musikal dengan kontroversinya di berbagai sisi kebenaran kehidupan, tidak juga hendak membatasi ruang ekspresi setiap orang, terlebih berusaha menjegal jalan yang mencari rezeki atau pencaharian, namun menyuarakan pandangan serta menangkap realita secara lebih sensitif dari pertimbangan kondusifitas bersama serta menyadarkannya.
Apa dan bagaimanapun alasan yang melatari terjadinya fenomena tersebut terdapat pertimbangan kepentingan bersama sebagai konsekuensinya. Terakhir, penulis hendak menyampaikan pandangan bahwa, penggunaan jalan raya tidak sebagai penggunaan utamanya kiranya dapat dilalui dengan prosedur dan perizinan dari para aparat penegak hukum dan instansi terkait. []
*) Penulis Lepas Yogyakarta