Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
CCTV, atau Closed Circuit Television, secara harfiah berarti televisi sirkuit tertutup, yaitu siaran televisi yang tidak dapat diakses atau ditonton secara terbuka oleh pihak lain di luar jaringan yang terhubung. Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan televisi yang disiarkan secara terbuka, alias dibroadcast, sehingga dapat dilihat oleh khalayak umum melalui pesawat televisi yang menerima siaran melalui frekuensi VHF, UHF, S-Band, Satelit yang dahulu analog dan kini sudah digital.
Seiring perkembangan zaman, istilah CCTV kini lebih lazim diartikan sebagai “Surveillance Camera” atau Kamera Pengawas, yang umumnya hanya dapat dilihat oleh pihak yang memasangnya dengan tujuan pengawasan terhadap subjek atau area tertentu. Kamera CCTV dapat dipasang secara terbuka dengan tujuan transparansi informasi atau secara tersembunyi untuk keamanan sistem CCTV itu sendiri.
Menariknya, banyak ditemukan “kamera palsu” yang dipasang hanya untuk menakut-nakuti orang, meskipun kamera tersebut tidak berfungsi, kadang-kadang dilengkapi dengan lampu LED yang berkedip atau bahkan dapat bergerak untuk memberi kesan seolah-olah itu adalah kamera yang nyata.
Baca Juga: Menyulam Harapan, Kisah Kebangkitan Para Penyintas di Bantul Creative Expo 2024
Sejarah kamera CCTV dimulai pada tahun 1942 di Jerman oleh Walter Bruch. Kamera CCTV pertama kali digunakan untuk memantau roket V-2 selama Perang Dunia II. Pada tahun 1949, CCTV mulai dikomersialkan dan dapat dibeli oleh masyarakat umum, digunakan oleh pemerintah dan sektor swasta untuk kepentingan pengawasan. CCTV kemudian menyebar ke Inggris dan seluruh benua Eropa pada tahun 1960-an, dan Amerika Serikat, Jepang, Korea, serta China menyusul dengan produksi perangkat CCTV dengan berbagai spesifikasi.
Perkembangan teknologi juga mempengaruhi teknologi CCTV, mulai dari resolusi dan jenis kamera, sistem perekaman, hingga teknologi pemantauan dan pendistribusiannya. Saat ini, CCTV dapat diakses secara remote dari lokasi yang sangat jauh menggunakan teknologi satelit atau internet.
Kamera CCTV yang awalnya menggunakan resolusi rendah kini rata-rata memiliki resolusi 4K/5K atau HD (High Definition), dilengkapi dengan sensor inframerah dan sensor panas untuk kondisi pencahayaan minim, seperti yang digunakan oleh pasukan tempur modern. Banyak kamera CCTV saat ini dilengkapi dengan penyimpanan internal menggunakan microSD dan mendukung koneksi wireless, termasuk Wi-Fi dan seluler dengan slot SIM card.
Perangkat perekam CCTV juga telah mengalami kemajuan pesat, dari pita kaset video seperti Betamax, VHS, S-VHS, hingga DVR (Digital Video Recorder) dengan kapasitas hard disk mulai dari 500GB hingga 4TB. DVR kini juga dilengkapi dengan colokan USB, microSD, serial, LAN, Wi-Fi, dan HDMI untuk perluasan koneksi lainnya, seperti pembuatan backup, monitor eksternal, mouse, sambungan LAN, dan jaringan internet.
Teknologi yang ada pada perangkat CCTV kini sangat canggih, termasuk motion detector untuk mendeteksi gerakan, alarm internal, dan perangkat remote (misalnya ponsel). Istilah “closed circuit” pada CCTV menjadi tidak sepenuhnya akurat, karena banyak DVR CCTV saat ini memiliki IP (Internet Protocol) sendiri, yang memungkinkan akses oleh pihak lain jika alamatnya dipublikasikan, seperti CCTV milik Dishub atau Jasa Marga yang dapat diakses oleh masyarakat umum.
Baca Juga: Langkah Menuju Sukses, 570 Mahasiswa Sleman Terima Beasiswa untuk Masa Depan Cemerlang
Oleh karena itu, kasus-kasus yang melibatkan CCTV kini dapat tersebar dengan cepat berbeda dari masa lalu. Contohnya adalah kasus Alda Risma yang tewas akibat overdosis pada 12 Desember 2006 di Hotel Grand Menteng Jakarta. Peristiwa yang terjadi 18 tahun lalu dapat dianalisis secara ilmiah menggunakan SCI (Scientific Crime Investigation). Jadi, sangat aneh jika kasus Vina-Eky di Cirebon tahun 2016, sepuluh tahun setelah kasus Alda Risma, dikatakan “tidak ada ahli yang memeriksanya.”
Kesimpulannya, kasus-kasus saat ini, mulai dari Vina-Eky di Cirebon, kasus kopi sianida yang mengakibatkan kematian Myrna Salihin, kasus pembunuhan Afif di Sumatera Barat, hingga kematian Dini Sera Afrianti akibat penganiayaan oleh Gregorius Ronald Tanur (yang malah bebas), seharusnya dapat dengan mudah dipecahkan jika CCTV dalam kasus-kasus tersebut dianalisis dengan benar oleh pihak-pihak yang berkompeten, bukan malah menjadi gaduh seperti sekarang karena tidak diterapkan SCI sebagaimana kasus-kasus yang telah saya analisis sebelumnya. AMBYAR.
)* Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen – Jakarta, 02 Agustus 2024