BacaJogja – Di tengah gemuruh zaman yang semakin modern, sebuah suara tradisional tetap terdengar di Padukuhan Botokan, Kalurahan Argosari, Kapanewon Sedayu, Kabupaten Bantul.
Dentuman kayu yang saling beradu mengiringi aktivitas menenun Harti, perempuan paruh baya yang telah lama bergelut dengan benang dan alat tenun. Dengan penuh ketelatenan, ia mengubah benang menjadi kain stagen, sejenis pelengkap busana tradisional Jawa yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Baca Juga: Camping di Potrobayan: Wisata Alam Bantul yang Menawarkan Keindahan dan Kenyamanan Fasilitas Lengkap
Stagen sendiri merupakan kain panjang yang dililitkan di perut, berfungsi seperti korset untuk merampingkan tubuh. Bagi sebagian orang, stagen mungkin hanya dikenal di kalangan pelaku seni atau sebagai perlengkapan bagi ibu-ibu usai melahirkan. Namun, bagi Harti, stagen adalah napas kehidupan yang ia rajut setiap hari, membawa makna yang lebih dari sekadar pelengkap busana.
Harti menenun menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM), yang masih setia ia operasikan di samping rumahnya. “Dari sejak muda sudah menenun stagen, awalnya ikut orang lain, kemudian membuka usaha sendiri dengan ATBM,” tutur Harti saat ditemui dalam sesi wawancara bersama Dekranasda dikutip dari laman Pemkab Bantul.
Baca Juga: Skaters Berhasil Sulap Papan Skateboard Bekas Jadi Barang Berharga Tinggi
Harti tidak bekerja sendiri. Ia dibantu oleh 20 orang karyawan, kebanyakan dari mereka sudah berusia di atas 50 tahun. Setiap harinya, mereka menghasilkan lembaran kain stagen dengan penuh dedikasi. Dalam dua jam, satu lembar stagen sepanjang sembilan meter bisa selesai. Seorang karyawan bahkan mampu menyelesaikan hingga lima lembar kain stagen dalam sehari.
“Kalau beli satuan bisa, tapi harganya lain. Kalau beli banyak, harganya lebih rendah,” jelas Harti tentang pemasaran produknya.
Baca Juga: Kanwil DJPb DIY dan UPN Veteran Yogyakarta Rancang APBN Center
Meski tidak mengalami kesulitan dalam menjual hasil tenunnya, Harti menyimpan kekhawatiran. Di tengah arus kain tenun modern yang diproduksi dengan mesin, ia berharap ATBM tetap eksis dan diteruskan oleh generasi berikutnya. “Semoga tradisi ini tidak hilang dan bisa diwariskan lintas generasi,” harapnya.
Di balik suara kayu yang beradu dan lembaran kain stagen yang teranyam, ada semangat besar dari Harti untuk menjaga warisan leluhur. Stagen bukan hanya kain, tetapi cerita, sejarah, dan identitas budaya yang ia harapkan tetap hidup di tengah kemajuan zaman. []