BacaJogja – Yogyakarta, kota yang dikenal karena kekayaan budaya dan toleransinya, kini menghadapi tantangan besar terkait regulasi tembakau. Di tengah ketatnya kebijakan yang diterapkan, berbagai kalangan menyuarakan pandangan kritis mengenai dampak aturan tersebut terhadap masyarakat, budaya, dan industri lokal.
Dalam forum diskusi yang digelar di Ingkung Grobog Yogyakarta pada Sabtu, 5 Oktober 2024, sejumlah komunitas berkumpul untuk menyampaikan keprihatinan mereka.
Dr. Hariadi Baskoro, seorang peneliti kebudayaan, menyoroti bahwa regulasi yang diberlakukan sering kali lebih mengedepankan kepentingan dagang daripada mencerdaskan masyarakat. Ia mengkritik pandangan umum tentang rokok yang dianggap hanya merusak kesehatan.
Baca Juga: Keseruan di Jogja Second Fest Vol. 9: Weekend Seru Penuh Thrift, Musik, dan Kreativitas!
“Rokok dianggap merusak dan membunuh, namun ada dimensi budaya yang sering kali diabaikan. Pandangan ini bertentangan dengan pendekatan lama yang cenderung mendikte,” ujar Hariadi.
Ia menambahkan bahwa rokok, dalam sejarahnya, telah menjadi media pembelajaran dan diplomasi, bahkan digunakan oleh tokoh pergerakan nasional seperti HOS Cokroaminoto.
Selain itu, Hariadi mengungkapkan bahwa banyak kebijakan dibuat atas tekanan pihak-pihak yang ingin mengendalikan pasar tembakau tanpa memberikan solusi yang bijak. Forum tersebut dihadiri oleh berbagai komunitas, termasuk seniman, pekerja rokok, dan pelaku industri periklanan, yang turut membahas dampak sosial dan ekonomi dari regulasi tembakau.
Baca Juga: Mengenal Klub Mencari Bunga: Komunitas Unik Pecinta Flora di Yogyakarta
Rudi, seorang buruh pabrik rokok, menyampaikan keresahan terhadap wacana pelarangan penjualan rokok eceran. “Jika ini diterapkan, tidak hanya penjual kecil yang dirugikan, tapi juga konsumen. Kami sebagai buruh pabrik rokok merasakan dampak besar dari kebijakan ini,” katanya.
Isu lain yang mencuat dalam diskusi adalah efektivitas Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Malioboro. Komunitas rokok mempertanyakan kebijakan ini karena fasilitas merokok yang minim dan tidak nyaman. “KTR di Malioboro tidak efektif. Ruang merokok yang disediakan sangat terbatas dan tidak manusiawi,” ungkap Rudi.
Baca Juga: Student Fair 2024: 5.000 Mahasiswa Baru UMY Temukan Wadah Pengembangan Non-Akademik
Menanggapi hal ini, Hariadi menekankan pentingnya dialog yang terbuka antara pemerintah dan masyarakat. “Merokok adalah pilihan pribadi. Kebijakan yang dibuat harus mencerminkan keberagaman pandangan dan kebutuhan lokal. Yogyakarta harus dikelola dengan bijak dalam mempertimbangkan semua kepentingan, termasuk isu tembakau,” tambahnya.
Calon Wakil Walikota Yogyakarta, Singgih Raharjo, juga turut hadir dalam forum tersebut. Menurutnya, regulasi tembakau merupakan keputusan politik antara legislatif dan eksekutif. Peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada beberapa wilayah di Kota Yogyakarta sejak 2017 silam. “Kami tidak melarang sepenuhnya, tapi menyediakan tempat khusus bagi para perokok di area publik seperti Malioboro,” jelas Singgih.
Dia mengatakan, aturan KTR yang ada di kawasan Malioboro, bukan merupakan suatu larangan yang tanpa solusi. “Makanya kita sediakan tempat-tempat khusus untuk merokok,” katanya.
Baca Juga: Nasgor Pang: Nasi Goreng Merah yang Viral di Jantung Kota Jogja
Reza, salah satu peserta forum lainnya, mengungkapkan keprihatinan mengenai maraknya peredaran rokok ilegal yang tidak diawasi dengan ketat. “Sementara rokok legal terus ditekan dengan regulasi, rokok ilegal justru mudah ditemukan di media sosial dan marketplace. Pemerintah harus tegas dalam memberantas hal ini,” tegasnya.
Diskusi ini diakhiri dengan harapan agar Yogyakarta tetap menjadi kota yang toleran dan menghormati hak individu, termasuk dalam hal merokok. Regulasi tembakau diharapkan dapat mencerminkan keseimbangan antara kesehatan publik, hak pilih individu, dan keberlanjutan ekosistem tembakau yang merupakan bagian penting dari budaya lokal. []