Harga Pangan Meroket di Tengah Rupiah Melemah, Begini Analisis Ekonom UGM

  • Whatsapp
harga sembako
Ilustrasi bahan pangan (ist)

BacaJogja – Di tengah melemahnya nilai rupiah, masyarakat kembali dihadapkan pada isu klasik: lonjakan harga pangan. Cabai, daging ayam, hingga telur kini menjadi komoditas yang harganya merangkak naik di sejumlah pasar tradisional di kota-kota besar, memicu keresahan rumah tangga sekaligus pelaku usaha kecil.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tetap terjadi meski dengan pola yang fluktuatif antar-komoditas. Namun, dampak lonjakan harga di pasar lokal sering kali terasa tajam bagi masyarakat.

Read More

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Setiadi Nugroho, S.E., M.Sc., Ph.D., menilai kenaikan harga pangan ini merupakan kombinasi faktor pasokan dan permintaan. “Di Bandung misalnya, pasokan menipis akibat musim dan distribusi, sementara permintaan meningkat karena konsumsi rumah tangga serta program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintah,” jelas Wisnu, Kamis (2/10).

Baca Juga: Batik Harus Dilestarikan dengan Inovasi, Sri Sultan HB X Tekankan Langkah Transformatif

Meski belum cukup untuk mengerek inflasi nasional secara signifikan, Wisnu mengingatkan adanya risiko efek rambatan (second-round effects). “Kenaikan harga pangan bisa meningkatkan biaya transportasi dan logistik. UMKM yang mengandalkan bahan baku seperti telur, minyak goreng, dan ayam akan terdampak karena biaya produksi ikut naik,” terangnya.

Strategi Jangka Pendek dan Panjang

Wisnu menekankan perlunya strategi jangka pendek seperti operasi pasar, pemanfaatan stok Bulog, dan penguatan koordinasi logistik MBG. Bantuan pangan terarah berupa voucher dan sistem monitoring harga real-time juga penting agar intervensi lebih cepat dan tepat sasaran.

Namun, ia juga menekankan bahwa solusi jangka panjang tidak boleh diabaikan. Perbaikan infrastruktur distribusi, peningkatan kapasitas produksi pangan lokal berbasis teknologi, serta modernisasi sistem Bulog adalah langkah krusial. “Kebijakan harga yang transparan serta pengawasan terhadap praktik penimbunan juga dibutuhkan agar gejolak harga tidak terus berulang,” ujarnya.

Baca Juga: Land of Leisures 2025: 90+ Brand Kreatif, Konser Musik, dan Games Seru di Yogyakarta

Mencegah Krisis, Menjaga Kesejahteraan

Bagi Wisnu, stabilitas harga pangan harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Program sosial seperti MBG tetap penting, namun pelaksanaannya harus cermat agar tidak memicu tekanan tambahan di pasar.

Ia menekankan bahwa setiap gejolak harga seharusnya tidak dilihat sekadar masalah sementara, melainkan sebagai momentum untuk membangun ketahanan pangan yang lebih kokoh. “Pemerintah jangan hanya reaktif. Lonjakan harga harus jadi sinyal untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan melindungi kelompok paling rentan,” pungkasnya.

Dengan demikian, kenaikan harga pangan bukan lagi pemantik krisis, melainkan titik balik menuju reformasi pangan berkelanjutan yang lebih adil dan stabil. []

Related posts