BacaJogja —Di tengah semangat ulang tahun ke-269 Kota Yogyakarta, pemerintah kota menggulirkan gerakan besar bertajuk “Jogja Zero Gepeng”. Gerakan ini bukan sekadar kampanye penertiban, melainkan langkah humanis untuk menciptakan ruang publik yang lebih tertib dan manusiawi bagi semua warga.
Program ini dijalankan secara sinergis oleh Satpol PP Kota Yogyakarta bersama Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans). Kepala Satpol PP Kota Yogyakarta, Octo Noor Arafat, menyebut bahwa setelah deklarasi “Jogja Zero Gepeng” pada 28 September 2025, kegiatan penertiban dan penjangkauan dilakukan secara lebih masif dan terkoordinasi.
“Dengan adanya deklarasi zero gepeng ini, kami bergerak lebih masif lagi untuk mewujudkan Jogja Zero Gepeng,” ujar Octo, Kamis (2/10/2025).
Baca Juga: Bus Sekolah Transigrak Kulon Progo, Wujud Nyata Akses Pendidikan Ramah Anak Berkebutuhan Khusus
Sejak Januari hingga Agustus 2025, sebelum deklarasi dilakukan, tercatat 62 gepeng telah ditertibkan, termasuk di dalamnya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan manusia silver. Setelah deklarasi, hanya dalam waktu beberapa hari, 7 gepeng dan 3 ODGJ kembali dijangkau dan dibawa ke Camp Assessment Dinas Sosial DIY untuk mendapatkan layanan sosial lanjutan.
Tiga ODGJ yang dijangkau, menurut Octo, dilaporkan masyarakat berada di Masjid Kauman Pakualaman, Notoprajan, dan Taman Pintar. Penjangkauan ini menjadi bukti nyata kolaborasi antara petugas Satpol PP, Dinsosnakertrans, dan masyarakat dalam menjaga ketertiban serta kesejahteraan sosial.
Menariknya, sebagian besar gepeng yang dijangkau ternyata bukan warga asli Yogyakarta. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti Cianjur, Sumatera, Pekanbaru, hingga Sleman. “Kebanyakan mereka datang karena melihat Yogyakarta sebagai kota yang ramah, banyak wisatawan, dan masyarakatnya dermawan,” jelas Octo.
Baca Juga: Kisah Haru Radiyem: Hilang 8 Hari, Ditemukan di Petilasan Ki Ageng Barat Ketigo Parangtritis Bantul
Namun, di balik keramahan warga Yogyakarta, tersimpan tantangan sosial yang tidak ringan. “Ini menjadi peringatan bagi masyarakat untuk tidak memberi uang di jalan. Karena justru itu yang membuat Yogyakarta menarik bagi gepeng. Kalau ingin membantu, bisa lewat lembaga sosial yang resmi,” tegasnya.
Penertiban dan penjangkauan tidak dilakukan secara represif. Sebaliknya, pendekatan humanis menjadi kunci utama. Kepala Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta, Maryustion Tonang, menegaskan bahwa upaya mewujudkan Jogja Zero Gepeng dilakukan dengan kolaborasi antara pendekatan kemanusiaan dan penegakan peraturan daerah (Perda).
“Pendekatan itu tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Dengan kolaborasi, harapannya apa yang menjadi misi Pemkot bisa dijalankan dengan baik, dan Jogja Zero Gepeng benar-benar terwujud,” tutur Tion.
Baca Juga: Polisi Tangkap Pelaku Perusakan dan Pembakaran Polda DIY Saat Demo Anarkis
Sementara itu, Erva Wifata, Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta, menjelaskan bahwa gepeng hasil penertiban akan dirujuk ke Camp Assessment Dinas Sosial DIY jika bukan warga kota. Sedangkan untuk warga Kota Yogyakarta, pihaknya melakukan penelusuran keluarga dan reunifikasi agar mereka bisa kembali mendapat dukungan sosial dari lingkungannya.
“Kalau tidak ditemukan keluarga atau mereka terlantar, akan kami rujuk ke UPT Rumah Pelayanan Lanjut Usia Terlantar Budhi Dharma,” terang Erva.
Dengan kolaborasi lintas instansi dan pendekatan humanis ini, Jogja Zero Gepeng bukan sekadar wacana. Ia menjadi gerakan sosial yang mengajak seluruh elemen masyarakat menjaga wajah Yogyakarta tetap istimewa—tidak hanya dalam budaya, tapi juga dalam kepedulian sosialnya. []