BacaJogja – Di tengah berbagai dinamika sosial dan politik nasional, masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus menunjukkan ketangguhannya menjaga daerah agar tetap aman, damai, dan inklusif. Gerakan berbasis masyarakat seperti “Jaga Warga” menjadi bukti nyata bahwa keamanan dan kedamaian bukan hanya tanggung jawab aparat, tetapi juga hasil gotong royong warga.
Wakil Ketua DPD RI, GKR Hemas, mengapresiasi kuatnya gerakan sosial di Yogyakarta yang mampu menahan gejolak sosial agar tidak berkembang menjadi konflik.
“Yang terpenting dalam krisis bukan soal ada apanya, tapi bagaimana sikap kita menghadapinya. Gerakan masyarakat Jogja luar biasa, baik jaga kampung maupun jaga warga. Semua sudah bergerak mengantisipasi supaya Jogja tetap damai,” ujarnya dalam Forum Group Discussion bertajuk “Merajut Kohesi Sosial untuk Jogja Damai”, Senin (20/10) di Kantor Sekretariat DPD RI DIY.
Menurut GKR Hemas, Jogja bukan lagi milik orang Jogja saja, melainkan milik seluruh Indonesia. Ia menegaskan, kedamaian Jogja menjadi simbol sekaligus barometer stabilitas nasional.
“Kalau Jogja aman, Indonesia juga aman,” tegasnya.
Gerakan “Jaga Warga” Perkuat Ketentraman di Kalurahan
Sementara itu, Lurah Tamanmartani, Gandang Hardjanata, menjelaskan bahwa seluruh kalurahan di DIY kini diwajibkan memiliki struktur Jaga Warga. Gerakan ini berperan penting dalam menjaga ketentraman, kerukunan, dan rasa saling peduli antarwarga.
“Jaga Warga bukan hanya masalah keamanan, tapi soal ketentraman dan kerukunan yang harus terus dipelihara. Pemerintah desa tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan masyarakat,” kata Gandang.
Selain itu, hadir pula Ketua Sekber Keistimewaan DIY, Widihasto Wasana Putra, dan Sekretaris Pawiyatan Pamong, Fajar Sujarwo, yang memaparkan strategi sosial untuk memperkuat kohesi sosial masyarakat.
Fajar menyebut ada tiga strategi utama untuk menjaga Jogja damai, yakni Renaisans, Restorasi, dan Arus Balik — tiga pendekatan yang berfokus pada revitalisasi nilai-nilai sosial dan budaya khas Jogja.
Kedamaian Jogja bukan sekadar hasil kebijakan, melainkan buah dari kesadaran bersama. Melalui gerakan Jaga Warga dan semangat gotong royong, masyarakat Jogja kembali membuktikan bahwa mereka bukan hanya penonton, tetapi pelaku utama dalam menjaga toleransi dan keharmonisan daerahnya. []