BacaJogja – Isu keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Indonesia kini berada pada titik yang mengkhawatirkan. Data terbaru BPJS Ketenagakerjaan mencatat, setiap hari terjadi sekitar 2.500 kasus kecelakaan kerja, dengan rata-rata 30 pekerja meninggal dunia.
Deputi Bidang Operasional dan Kanal Layanan BPJS Ketenagakerjaan, Isnavodiar Jatmiko (Iko), mengungkap fakta tersebut dalam konferensi pers di Hotel Hyatt Yogyakarta, Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, perhatian terhadap pekerja di Indonesia harus mengalami pergeseran paradigma. Jika selama ini fokus utama hanya pada upah dan status, kini keselamatan kerja harus menjadi prioritas utama.
“Kasus kecelakaan kerja mencapai 2.500 per hari, dan 30 orang di antaranya meninggal. Layanan kuratif tetap kita jalankan, tapi budaya keselamatan belum terbentuk. Karena itu, kami fokus pada edukasi lingkungan kerja yang baik, cara kerja aman, dan penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tepat,” jelas Iko.
Baca Juga: Sri Sultan Dukung KPK Gelar Hari Anti Korupsi Sedunia 2025 di Yogyakarta
Dalam tiga tahun terakhir, angka kecelakaan kerja terus meningkat. Jawa Tengah dan DIY menempati posisi ketiga kasus tertinggi di Indonesia setelah Jawa Barat dan Jawa Timur.
Sebagian Besar Kasus Kecelakaan Bersifat Ringan
Dari total kasus tersebut, sekitar 70 persen tergolong ringan, seperti tertusuk jarum di rumah sakit. Meski tampak sepele, kasus-kasus ini bisa berdampak serius terhadap kesehatan pekerja akibat risiko kontaminasi.
“Kalau yang fatal memang langsung jadi perhatian publik, tapi kasus ringan justru paling banyak. Dampaknya besar karena menurunkan produktivitas,” ujar Iko.
Sinergi dengan Pemda dan Rumah Sakit
Untuk menekan angka kecelakaan kerja, BPJS Ketenagakerjaan kini menjalankan tiga strategi utama yang melibatkan pemerintah daerah (Pemda) dan rumah sakit.
Baca Juga: Amanda Eka Lupita, Lulusan Termuda S2 UGM di Usia 22 Tahun: Nikmati Proses, Bukan Sekadar Hasil
Pemda dinilai memiliki peran strategis karena bisa menjangkau masyarakat hingga tingkat desa. Sinergi juga dilakukan dengan BPJS Kesehatan, agar pasien yang datang ke rumah sakit bisa langsung diidentifikasi apakah mengalami kecelakaan kerja atau bukan.
“Sudah 90 persen rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan juga bergabung dengan kami. Sisanya 10 persen sedang dalam proses. Targetnya semua rumah sakit akan terintegrasi,” imbuh Iko.
BPJS Ketenagakerjaan juga menugaskan case manager untuk mengedukasi perusahaan mengenai K3 sekaligus memetakan risiko industri.
Perlindungan Ekonomi untuk Keluarga Pekerja
Selain memberikan perlindungan kecelakaan kerja, BPJS Ketenagakerjaan turut menjaga stabilitas ekonomi keluarga pekerja. Setiap tahun, sekitar 80 ribu peserta meninggal dunia, dan santunan sebesar Rp3,2 triliun disalurkan kepada ahli waris.
“Dana ini menjadi penyangga ekonomi keluarga agar tidak jatuh miskin. Misalnya santunan kematian Rp42 juta, sisa Rp32 juta bisa digunakan sebagai modal usaha kecil,” ungkap Iko.
Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Yogyakarta, Rudi Susanto, menambahkan bahwa perhatian terhadap pekerja rentan semakin meningkat.
Pemerintah Kota Yogyakarta, misalnya, telah menanggung iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi sekitar 1.800 pekerja rentan.
Baca Juga: Sri Sultan HB X: Persatuan Bangsa Tak Cukup dengan Slogan, Harus dengan Kesadaran Kolektif
“Langkah ini sangat berarti untuk mencegah munculnya warga miskin baru. Jika kepala keluarga mengalami kecelakaan kerja, semua risikonya kami tanggung—biaya pengobatan, biaya hidup selama tidak bekerja, hingga santunan meninggal dunia sebesar 48 kali upah,” jelas Rudi.
Perlindungan bagi Ojol dan Pekerja Informal
Selain pekerja formal, BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan perlindungan bagi profesi berisiko tinggi seperti pengemudi ojek online (ojol). Saat ini tercatat sekitar 400 ribu pengemudi ojol telah menjadi peserta aktif secara nasional.
Perlindungan sosial ini dinilai krusial mengingat tingginya risiko kecelakaan di jalan raya.
Melalui langkah-langkah promotif dan preventif tersebut, BPJS Ketenagakerjaan berupaya mempertegas bahwa isu ketenagakerjaan modern tak lagi sekadar soal upah, melainkan keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan hidup pekerja Indonesia. []
 
									
 
													




