Akademisi UGM Soroti Blunder dan Krisis Komunikasi Publik Pemerintahan Prabowo-Gibran

  • Whatsapp
pernyataan blunder
ilustrasi pernyataan blunder (Ist)

BacaJogja – Komunikasi publik menjadi sorotan tajam dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Hampir setahun berjalan, sejumlah pernyataan pejabat negara justru memicu kontroversi ketimbang meredakan kekhawatiran publik. Ucapan yang kontradiktif, ambigu, bahkan terkesan tidak sensitif, dinilai mencerminkan krisis dalam pengelolaan pesan politik di lingkaran kekuasaan.

Fenomena ini menarik perhatian akademisi Fisipol UGM. Prof. Nyarwi Ahmad, Ph.D., pakar komunikasi publik dan strategi media, menilai bahwa akar persoalan terletak pada kegagalan pejabat dalam membedakan persuasi dengan pemaksaan.

Read More

“Coercion (pemaksaan) berbeda dengan persuasi,” ujar Nyarwi dalam Diskusi Komunikasi Magister (Diskoma) Fisipol UGM edisi ke-24 bertajuk Dari Retorika Arogansi Menuju Retorika Urgensi, Kamis (25/9).

Baca Juga: Jogja Zero Gepeng: Yogyakarta Tegaskan Penanganan Humanis Gelandangan dan Pengamen

Menurutnya, persuasi adalah proses dialogis berbasis data dan rasionalitas. Komunikasi yang sehat seharusnya mengajak publik berdiskusi, bertukar nilai, hingga menemukan pemahaman bersama. Sebaliknya, sejumlah pernyataan elite politik yang cenderung meremehkan kritik publik justru menggambarkan arogansi.

“Ketika menteri membalas kritik dengan ujaran ‘kabur ajalah, kalau bisa tidak usah kembali’, itu bukanlah solusi atau ruang diskusi, melainkan bentuk komunikasi defensif,” jelas Nyarwi.

Ia menegaskan, pemerintah perlu memperbaiki strategi komunikasi publik agar tidak memicu kegaduhan, melainkan memberi kejelasan arah kebijakan.

Baca Juga: CIMB Niaga 70 Tahun: Inovasi Digital dan Keberlanjutan untuk Wujudkan Mimpi Nasabah

Senada dengan Nyarwi, praktisi komunikasi sekaligus alumnus Fisipol UGM, Dr. Agus Sudibyo, menyoroti kaburnya batas antara media sosial sebagai ruang privat dan ruang publik bagi pejabat. Ia menilai pejabat negara seharusnya menegakkan standar etika komunikasi tertinggi.

“Dengan standar etika yang kabur, pejabat harus menjaga komunikasi massa agar steril dari apriori, insinuasi, intimidasi, maupun ujaran kebencian,” tegas Agus.

Kritik para akademisi ini menjadi pengingat bahwa komunikasi publik bukan sekadar retorika, tetapi cermin kredibilitas pemerintah di mata rakyat. []

Related posts