BacaJogja – Di tengah gempuran disrupsi digital dan kecerdasan buatan (AI) yang mengubah cara publik mengonsumsi informasi, isu keberlanjutan jurnalisme kembali mencuat dalam Press Gathering Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertema “Tren Perilaku Masyarakat dalam Mengonsumsi Informasi” di Hotel Hyatt Yogyakarta, Jumat malam (14/11/2025).
Forum tersebut menyoroti kondisi media Indonesia yang kian rapuh dan kebutuhan mendesak akan skema pendanaan baru untuk menjaga kualitas jurnalisme.
Prof Dr rer soc Masduki SAg MSi mengatakan, krisis media yang melanda Indonesia bukanlah fenomena tunggal, melainkan bagian dari krisis berlapis yang kini mengguncang industri media global. “Kita sedang menyaksikan keruntuhan struktur lama media. Model bisnis konvensional tidak lagi mampu menopang jurnalisme yang berkualitas,” ujarnya di hadapan para wartawan.
Menurut Masduki, para pakar dunia sebenarnya telah lama memperingatkan runtuhnya model bisnis media. Brant Houston, pakar jurnalisme investigatif, menyebut bahwa kehancuran media komersial dipicu tiga tekanan utama: politik, finansial, dan kultural.
Baca Juga: Aktivitas Tambang Pasir Sungai Progo Terhenti, Ribuan Penambang Rakyat Menunggu Kepastian Izin
Politisasi kepemilikan serta meningkatnya tekanan terhadap jurnalis membuat independensi redaksi rentan. Pada saat yang sama, penurunan pemasukan iklan, kelemahan manajerial, dan keterampilan digital yang belum memadai membuat banyak media tidak siap menghadapi kompetisi digital.
Ia juga mengutip ekonom media Robert G. Picard yang menilai bahwa banyak media arus utama terlambat beradaptasi dengan perkembangan teknologi. “Ketika platform digital berlari kencang, media konvensional tertinggal jauh,” tulis Picard.
Sementara itu, pakar lain, Ann Hollifield, menekankan bahwa dukungan publik tidak seharusnya diberikan untuk mempertahankan semua media, tetapi hanya untuk media yang benar-benar menghasilkan jurnalisme yang kuat dan berintegritas.
Disrupsi platform juga berlangsung semakin masif. Pergeseran dari portal berita ke streaming dan media sosial, hingga penetrasi kecerdasan buatan yang mengubah cara informasi diproduksi dan disebarkan, makin mempertegas transformasi besar dalam lanskap media. Keterhubungan media dengan audiens digital juga semakin longgar—ditandai turunnya konsumsi televisi, radio, dan media cetak.
Baca Juga: Produk Ayam Charoen Pokphand Dinyatakan Bebas Paparan Radioaktif Cs-137, Aman Dikonsumsi
Meski tingkat kepercayaan terhadap media konvensional relatif stabil di angka 40 persen, kata Masduki, publik kini lebih banyak mengandalkan YouTuber, TikToker, podcaster, bahkan chatbot AI sebagai sumber informasi pertama. Fenomena ini sangat kuat di kalangan Generasi Z.
Ia mencontohkan Gerakan September 2025 yang menunjukkan bagaimana generasi muda mampu menggerakkan perubahan sosial melalui narasi digital yang viral, terorganisasi, dan masif.
Di tengah derasnya perubahan tersebut, Masduki mengingatkan bahwa media tidak akan mampu bertahan tanpa pondasi ekonomi yang sehat. Bukan kali pertama ia menyuarakan isu ini. Dalam berbagai konferensi, diskusi publik, hingga forum akademik, Masduki selalu menekankan pentingnya membangun Dana Abadi Jurnalisme sebagai solusi jangka panjang untuk menjaga keberlanjutan jurnalisme independen di Indonesia. []






