7 Oktober 1756, HUT Kota Jogja Sejarah Sultan HB I Menetap di Keraton Yogyakarta

  • Whatsapp
kota yogyakarta tempo dulu
Ilustrasi Kota Yogyakarta tempo dulu. (Foto: Cover buku Yogyakarta Tempo Dulu/Abdurrachman Surjomihardjo)

BacaJogja – Setiap tanggal 7 Oktober, Kota Yogyakarta merayakan ulang tahun. Dalam setiap perayaannya, ragam agenda digelar dengan balutan yang kental seni dan budaya. Tahun 2022 ini merupakan ulang tahunnya yang ke-266.

Event yang menjadi puncak perayaan HUT Kota Yogyakarta yakni Wayang Jogja Night Carnival (WJNC) yang biasanya digelar tepat pada hari ulang tahunnya, yakni 7 Oktober. Selama ini digelar di kawasan Tugu Pal Putih, yang merupakan ikon Yogyakarta. Namun selama pandemi, event WJNC digelar terbatas di Stadion Mandala Krida.

Read More

Umroh akhir tahun

Baca Juga: Sejarah dan Asal Usul Yogyakarta Hadiningrat

Lahirnya ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 7 Oktober ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah Keraton Yogyakarta. Tanggal tersebut merupakan momen ketika Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I berpindah dari Pesanggrahan Ambarketawang untuk menetap dan meresmikan Keraton Yogyakarta yang didirikannya.

Dalam sejarahnya, Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan baru yang didirikan oleh Pangeran Mangkubumi setelah Mataram dibagi dua wilayah yang ditandai dengan Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755.

Mataram Menjadi Dua Bagian

Perjanjian Gianti ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Salah satu isi dari Perjanjian Gianti yakni Negara Mataram dibagi menjadi dua.

Dikutip dari laman Pemerintah Kota Yogyakarta, isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Baca Juga: Sejarah Alun-alun Utara Yogyakarta dan Makna 64 Pohon Beringin

Daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram Yogyakarta yakni Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribu kota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Baca Juga: Mengenang Pangeran Mangkubumi, Pendiri Keraton Yogyakarta

Tempat yang dipilih menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin. Di tempat ini sudah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, terdapat juga pesanggrahan dinamai Garjitowati. Pesanggrahan ini dibuat Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan lokasi ibu kota, Sultan HB I memerintahkan kepada rakyat membabad hutan untuk didirikan Keraton.

Dari Pesanggrahan Ambarketawang Memasuki Keraton

Sebelum Keraton jadi, Sultan HB I menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, Sleman yang saat ini juga sedang dikerjakan juga. Sultan HB I menempati pesanggrahan resminya pada 9 Oktober 1755. Dari tempat ini Sultan HB I selalu mengawasi dan mengatur pembangunan keraton yang sedang dikerjakan.

Pembangunan Keraton membutuhkan waktu satu tahun. Setelah jadi, Sultan HB I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan HB I untuk berpindah menetap di Keraton yang baru. Peresmiannya terjadi pada tanggal 7 Oktober 1756.

Baca Juga: Tugu Golong-Gilig, Karya Mangkubumi Pendiri Keraton Yogyakarta yang Tak Lagi Sama

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan HB I di Hutan Beringin, suatu kawasan di antara Sungai Winongo dan Sungai Code. Di lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu.

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI. Kemudian pada 5 September 1945, raja dan adipati mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945.

pembanguan keraton jogja
Ilustrasi lukisan pembangunan Keraton Yogyakarta. (Foto: Ayodya/Pemda DIY)

Pada 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan masih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Haminte Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947. Dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakarta.

Baca Juga: Mengenal Upacara Adat Bekakak Keraton Yogyakarta di Gamping Sleman

Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jamasan Tombak Kyai Wijoyo Mukti di Kompleks Balai Kota Yogyakarta
Prosesi jamasan Tombak Kyai Wijoyo Mukti di Kompleks Balai Kota Yogyakarta. (Foto: Humas Pemkot Yogyakarta)

Selanjutnya Wali Kota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.

Kota Praja Diganti Kotamadya Yogyakarta

Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII.

Baca Juga: Sumbu Filosofi Yogyakarta Masuk Nominasi Warisan Dunia

Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Wali kotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab.

Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Wali kota Yogyakarta sebagai kepala daerahnya. []

Related posts