Mengenal Upacara Adat Bekakak Keraton Yogyakarta di Gamping Sleman

  • Whatsapp
tradisi adat bekakak
Tradisi adat Bekakak di Gamping Sleman. (Foto: Facebook)

BacaJogja – Upacara adat Bekakak di Ambarketawang, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Upacara ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Keraton Yogyakarta.

Upacara adat ini merupakan perintah Pangeran Mangkubumi, yang merupakan pendiri Keraton Yogyakarta. Sosok yang kemudian disebut Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I memperintahkan menggelar upacara adat ini sebagai bentuk penghormatan kepada arwah atau roh halus Kiai dan Nyai Wirosuto sekeluarga.

Read More

Kiai Wirosuto adalah abdi dalem penangsong atau hamba yang memayungi Sri Sultan Hamengku Buwana I. Pembawa payung kebesaran setiap Sri Sultan Hamengku Buwana I berada. Selama proses pembangunan Keraton Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi bersama para pengikutnya berada di Pesanggrahan Ambarketawang Gamping, termasuk Kiai Wirosuto ini.

Baca Juga: Sejarah Alun-alun Utara Yogyakarta dan Makna 64 Pohon Beringin

Saat pembangunan Keraton Yogyakarta selesai dibangun, Pangeran Mangkubumi pun pindah bersama para pengikutnya. Namun Kiai Wirosuto bersama keluarganya tetap setia berada di Pesanggrahan Ambarketawang. Kiai Wirosuto ini kemudian dianggap sebagai cikal bakal penduduk Ambarketawang, Gamping, Sleman.

Upacara adat Bekakak ini biasanya dilakukan di Gunung Gamping. Rangkaian upacara adat bekakak ini juga biasa disebut Saparan pelaksanaan upacara dilakukan setiap hari Jumat dalam bulan Sapar.

penyembelihan bekakak
Penyembelihan boneka bekakak. (Foto: Facebook)

Saparan Bekakak berarti penyembelihan korban berupa hewan atau manusia. Bekakak pada Saparan ini hanya tiruan manusia saja, berujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang terbuat dari tepung ketan.

Tahapan Upacara Bekakak meliputi midodareni bekakak, kirab, pengantin bekakak dan sugengan Ageng. Tempat penyelenggaraan upacara disesuaikan dengan pelaksanaan upacara. Persiapan penyelenggaraan upacara dibagi dalam dua macam yaitu saparan bekakak dan sugengan ageng.

Pengantin Bekakak Bergaya Surakarta dan Yogyakarta

Persiapan untuk saparan bekakak terutama pembuatan bekakak dari tepung ketan dan membuat juruh, yang memakan waktu 8 jam. Pada saat pembuatan tepung diiringi gejong lesung atau kothekan yang memiliki bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung dan lain-lain.

Apabila penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan bekakak, gendruwo, kembang mayang, dan sajen-sajen. Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan dengan bentuk pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan sepasang bergaya Surakarta dan sepasang bergaya Yogyakarta.

Baca Juga: Mengenang Pangeran Mangkubumi, Pendiri Keraton Yogyakarta

Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris beruntaikan bunga melati, dan kelat bau.

Sedangkan yang wanita memakai kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah dipaes, gelung diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan memakai subang.

boneka bekakak
Boneka bekakak gaya Surakarta dan Yogyakarta. (Foto: Facebook)

Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang biru dan kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak).

Kekhususan yang tidak dapat dilanggar sampai saat ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan mentahnya tetap para wanita. Sedang yang mengerjakan pembuatan bekakak adalah para pria.

Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk dua jali yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara.

Ragam Sesajen dalam Upacara Bebakak

Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih ditempatkan dalam pengaron kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng.

Ada pula tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah, ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.

Baca Juga: Pasar Malam dan Tradisi Sekaten Keraton Yogyakarta

Sesaji itu ditempatkan dalam sudhi, gelas. Kemudian ditaruh di atas jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel goreng waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten), tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa.

Sesajen tersebut ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak. Dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat kembang mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung. Sementara itu disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.

Midodareni Malam Pengantin Bekakak

Meski bekakak ini berujud pengantin tiruan, tetapi menurut adat perlu juga memakai upacara midodareni. Kata midodareni bersal dari bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Di sini terkandung makna pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu kepada pengantin bekakak.

Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (Kamis malam) dimulai pukul 20.00 WIB. Dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe. Semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan.

Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti halnya pengantin benaran. Di Pesanggrahan Ambarketawang juga diadakan tirakatan.

Urut-urutan Kirab Pengantin Bekakak

Tahap pengantin bekakak ini merupakan pawai atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan. Bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke pesanggrahan.

Adapun urut-urutan arakan-arakan saparan bekakak yakni reog dan jathilan, sesaji sugengan Ageng, barisan prajurit, pembawa umbul-umbul memakai celana hitam kagok, berkain, baju lurik, destalan, seperti prajurit Daeng. Mereka membawa seruling, genderang dan mung-mung.

bregada upcarra bebakak
Bregada pada saat kirab upacara bebakak. (Foto: Facebook)

Setelah itu ada prajurit putri membawa perisai, pedang, mengenakan baju berwarna-warni, celana panjang cinde dan berkain loreng, rombongan demang yang mengenakan kain, baju beskap hitam, memakai selempang kuning, jagabaya berkain, baju beskap hitam, memakai serempang merah, kaum atau rois mengenakan kain berbaju surjan memakai serempang putih.

Pembawa tombak berbungkus cindhe beruntaikan bunga melati, mereka mengenakan celana hitam kagok, baju lurik, iket wulung, berselempang cindhe. Tiga pemudi mengenakan kain lurik ungu, baju hijau, memakai selempang merah, masing-masing membawa tiruan landak, gemak, merpati.

Baca Juga: Sejarah dan Asal Usul Yogyakarta Hadiningrat

Kemudian barisan pembawa tombak, bapak-bapak berbaju surjan pakai sampur berwarna-warni, prajurit anak-anak, laki-laki perempuan membawa jemparing atau panah, pembawa jali sesaji (jodhang), barisan selawatan, jali bekakak Gunung Kliling, barisan pembawa kembang mayang, cengkir, bendhe, tombak, dan luwuk semua dipayungi, barisan berkuda, barisan pembawa panji-panji berwarna-warni, tiga pemudi membawa banyak dhalang, sawung galing, ardawalika.

Tiga orang pemuda membawa padupaan dan bunga-bunga diikuti pembawa alat musik genderang, seruling dan mung-mung, prajurit, diikuti prajurit putri pembawa panah dan pedang panjang, prajurit memakai topeng buron wana (landhak, kerbau, garuda) ada yang membawa tombak bertrisula, tombak biasa.

Upacara tradisional itu berangkat dari balai desa menuju kearah bekas gung Ambarketawang, tempat penyembelihan pertama, kemudian ke tempat penyembelihan kedua yaitu di Gunung Kliling.

Penyembelihan Pengantin Bekakak

Saat arak-arakan tiba di Gunung Ambarketawang, maka joli pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, diusung ke arah mulut gua. Kemudian ulama (kaum) memberi syarat agar berhenti dan memanjat doa. Setelah itu boneka ketan sepasang pengantin disembelih dan dipotong-potong lalu dibagikan kepada para pengunjung beserta sesaji yang lain.

Baca Juga: Sangkan Paraning Dumadi, Sejarah dan Asal Usul Malioboro Yogyakarta

Arak-arakan kemudian dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk mengadakan upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan pembagian potongan bekakak yang kedua kepada para pengunjung. Adapun jodhang yang berisi sajen selamatan dibagikan kepada petugas di tempat penyembelihan terakhir.

Sugengan Ageng

Sugengan Ageng yang dilaksanakan di Pesanggrahan Ambarketawang ini dipimpin oleh Ki Juru Permana. Pesanggrahan telah dihiasi janur dan sekelilingnya diberi hiasan kain berwarna hijau dan kuning. Sesaji Sugengan Ageng berupa jodhang, jali kembang mayang, kelapa gadhing (cengkir), air amerta, bokor tempat sibar-sibar, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur dengan rapi di tempat masing-masing.

Upacara ini dilaksanakan di Gunung Kliling. Pertama-tama pembakaran kemenyan, lalu dilanjutkan oleh Ki Juru Permana membuka upacara dengan mengikrarkan adanya Sugengan Ageng dilanjutkan pembacaan doa.

Setelah selesai maka dilepaskannya sepasang burung merpati putih oleh Ki Juru permana. Kemudian dilakukan pembagian sesaji Sugengan Ageng yang berada dalam joli rahmat Allah kepada semua yang hadir, terutama makanan tawonan kegemaran Sultan Hamengku Buwono I.

Artikel dirangkum dari Kundha Kabudayan dan berbagai sumber. []

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *