Bayar Bayar Bayar, Sukatani Jadi Duta Polri, dan Sejarah Pembredelan Lagu di Indonesia

  • Whatsapp
Sukatani
Band Sukatani. (Istimewa)

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

Alhamdulillah, setelah tulisan saya sebelumnya “Lagunya Disebut Tidak Masalah, Sukatani Bisa Jadi Duta Lagu Rakyat” (22/02/25) viral dan banyak dimuat di berbagai media yang masih objektif dan berani menyuarakan aspirasi rakyat (catatan: karena sekarang netizen juga mulai menilai banyak media yang tidak membela masyarakat dan malah menyuarakan kepentingan oligarki atau penguasa, sampai-sampai muncul tagar #ShameOn… nama salah satu media besar Indonesia), lagu yang sarat dengan kritik sosial tersebut kini bebas dinyanyikan.

Read More

Sesuai usulan saya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menawari duo personel band Sukatani, Novi Citra Indriyati alias Ovi (nama panggung Twister Angel) dan Muhammad Syifa Al Lutfi alias Ai (nama panggung Alectroguy), sebagai “Duta Polri” untuk perbaikan institusi Korps Bhayangkara tersebut. Meskipun banyak komentar netizen yang menyarankan untuk menolaknya dan mengatakan bahwa ini “jebakan Batman”, bagaimanapun juga, tawaran dari TB1 alias “Tribrata Satu”, orang nomor satu di Polri, ini layak diapresiasi.

Baca Juga: Cuaca Ekstrem Yogyakarta: Data Kerusakan di Gunungkidul, Kota Jogja, Kulon Progo, dan Bantul

Setidaknya ini sudah mematahkan (baca: menampar muka) tindakan yang sempat dilakukan Tim Siber Polda Jawa Tengah yang kabarnya sempat mendatangi kedua personel band yang biasanya menggunakan “balaclava” alias penutup kepala era Perang Balaclava di Krimea (sekarang Ukraina) pada tahun 1853–1856, tepatnya tanggal 25 Oktober 1854. Bahkan keduanya terpaksa menanggalkan balaclava-nya dan tampil dengan wajah terbuka sembari mengunggah permintaan maaf atas lagunya yang viral tersebut. Di sisi lain, media yang pro-rezim dan buzzerRp melakukan doxing terhadap mereka.

Kasus “pembreidelan lagu” yang sempat terjadi kemarin sebenarnya sangat buruk bagi demokrasi Indonesia karena ini mengingatkan kita pada tindakan yang pernah dilakukan tempo dulu, di era Orde Baru bahkan Orde Lama. Saat itu, beberapa peristiwa terjadi di mana rezim yang berkuasa bersikap antikritik dan membungkam semua aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui seni budaya, termasuk lagu. Memang saat itu sarana ekspresi dan media belum sebebas serta sevariatif sekarang. Jadi, ketika media konvensional ditutup, tertutuplah pula akses masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan ekspresinya.

Jika diingat sejarahnya, memang sepanjang yang bisa saya kumpulkan dari berbagai referensi, beberapa lagu pernah dilarang atau dibatasi peredarannya oleh pemerintah dengan alasan beragam, mulai dari lirik yang dianggap provokatif hingga tidak sesuai dengan norma sosial. Ini terjadi di era Orde Lama (1959–1965), Orde Baru (1966–1998), hingga Orde Reformasi (1998-sekarang).

Baca Juga: Dua Remaja Diduga Klitih Diamankan di Bantul, Berkendara Ugal-ugalan Menjelang Subuh

Pada zaman Orde Lama, lagu yang sangat terkenal dan dilarang adalah “Genjer-Genjer” oleh Lilis Suryani dan Bing Slamet (1960-an). Lagu ini diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dianggap sebagai lagu ‘komunis’. Setelah peristiwa G30S, lagu ini dilarang diputar oleh pemerintah Orde Baru. Kemudian, ada lagu “Paduka yang Mulia” oleh Lilis Suryani (1960-an). Selain itu, sempat terdengar kabar bahwa lagu-lagu Koes Plus juga tidak disarankan pemutarannya karena dianggap musik “ngak-ngik-ngok-ngek” yang lebih kebarat-baratan dan kurang mencerminkan budaya Indonesia.

Di era Orde Baru, lagu “Mimpi di Siang Bolong” oleh Doel Sumbang (1970-an) sempat dilarang karena liriknya dianggap mengandung kritik terhadap pemerintahan Soeharto, menyinggung praktik korupsi, serta menggambarkan manipulasi politik yang terjadi pada masa itu. Disusul oleh lagu “Surat untuk Wakil Rakyat” oleh Iwan Fals (1987), yang mengkritik anggota DPR yang dianggap tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Begitu juga lagu “Pak Tua” oleh Elpamas (1991), yang menggambarkan sosok pemimpin tua yang tetap mempertahankan kekuasaannya. Liriknya yang dianggap menyindir pemerintahan saat itu membuat lagu ini dilarang beredar di radio dan video klipnya dicekal dari televisi nasional dan swasta.

Lucunya, lagu cinta seperti “Hati yang Luka” oleh Betharia Sonata (11 Januari 1988) sempat dilarang pada 24 Agustus 1988 ketika Menteri Penerangan Harmoko melarang pemutaran lagu-lagu yang dianggap ‘cengeng’ karena dinilai dapat melumpuhkan semangat pembangunan nasional. Hal serupa terjadi pada lagu “Gelas-Gelas Kaca” oleh Nia Daniaty yang dilarang pada bulan yang sama dengan alasan serupa. Namun, dua lagu yang cukup fenomenal dan masih banyak dinyanyikan hingga kini adalah “Bento” dan “Bongkar” karya Iwan Fals (1991). Meski lagu-lagu ini dianggap meresahkan karena liriknya yang kritis terhadap pemerintah dan sempat dilarang peredarannya pada masa Orde Baru, justru masih sering dinyanyikan saat demonstrasi hingga sekarang.

Baca Juga: Catat Tanggalnya! Nyadran Agung Makam Sewu 2025: Tradisi Sakral dan Kirab Bregada di Bantul

Di era Reformasi dan setelahnya (1998-sekarang), beberapa lagu juga sempat dilarang oleh pemerintah. Di antaranya “Cinta Satu Malam” oleh Melinda (2010) dan “Paling Suka 69” oleh Julia Perez (2012), yang dilarang karena dianggap vulgar, tidak mencerminkan budaya ketimuran, hingga berbau pornografi. Ada juga lagu “Gossip Jalanan” oleh Slank (2004), yang dianggap bisa memicu keresahan masyarakat karena memotret realitas kehidupan rakyat yang tertindas oleh rezim yang berkuasa. Lagu-lagu Slank kini bahkan laris manis di tengah masyarakat, termasuk lagu “Anak Mami Mandiri” yang diubah untuk mengkritik keluarga Jokowi dengan Gibran dan Kaesang yang disebut hanya mengandalkan bapak dan emaknya.

Kesimpulannya, pelarangan atau pembreidelan lagu justru biasanya tidak membuat lagu dan penyanyinya hilang dari peredaran, melainkan makin populer. Lagu “Bayar Bayar Bayar” oleh Sukatani kini seperti menjadi lagu wajib demonstrasi dengan tagar #AdiliJokowi dan #IndonesiaGelap yang marak serta, insyaallah, terus membesar akhir-akhir ini karena rakyat menunggu kejelasan sikap dari pemimpin negeri agar tidak masih dipengaruhi oleh Jokowi. Apalagi lagu ini sudah dinyatakan tidak dilarang dan bahkan penyanyinya ditawari menjadi Duta Polri. Ayo, maju terus demokrasi!

Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen – Jakarta, Senin, 24 Februari 2025

Related posts