Argo Ericko dan Sebuah Malam yang Tak Pernah Pulang: Refleksi Duka dari UGM

  • Whatsapp
Argo Ericko UGM
Argo Ericko Mahasiswa UGM. (UGM)

BacaJogja – Malam itu sunyi. Jalan Palagan di utara Yogyakarta menyisakan sisa-sisa keheningan dini hari, ketika suara denting logam bertemu aspal memecah udara. Di balik kabar kecelakaan yang cepat menyebar lewat pesan daring, tak banyak yang tahu: Argo Ericko Achfandi, 19 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2024 Universitas Gadjah Mada. Ia tak pernah pulang lagi.

Pagi harinya, duka itu sampai ke kampus Bulaksumur. Kabar kepergian Argo menyentak hati keluarga besar UGM. Bukan hanya karena usianya yang masih muda, tetapi juga karena cara kepergiannya yang begitu tiba-tiba—dan menyisakan tanya.

Read More

“Ini peristiwa yang mengguncang. Kami semua merasa sangat kehilangan,” ucap Dr. Andi Sandi, S.H., LL.M., Sekretaris Universitas Gadjah Mada dalam pernyataan resminya. “Kami berharap kejadian ini menjadi pengingat akan keterbatasan manusia di hadapan kehendak Yang Maha Kuasa.”

Baca Juga: Viral! Pengunjung Alkid Jogja Dimaki Pengemis Gegara Kasih Uang Rp1.000

Kematian yang Membuka Luka Kolektif

Kematian Argo bukan sekadar kehilangan personal. Ia membuka luka kolektif: tentang keselamatan jalan raya, tentang solidaritas di kalangan mahasiswa, dan tentang bagaimana sebuah universitas menyikapi tragedi yang menyentuh sisi paling manusiawi dari kehidupan kampus.

Di tengah suasana berkabung, muncul pula kenyataan bahwa mahasiswa lain, yang diduga sebagai pelaku dalam insiden ini, berasal dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM. Publik bereaksi. Media sosial ramai. Rumor menyebar—sebagian mempertanyakan apakah kampus akan bersikap adil, apakah status sosial pelaku akan memengaruhi proses hukum.

penerima beasiswa
Argo Ericko Mahasiswa UGM (UGM)

Namun pihak universitas bersikap tegas. “Tidak ada intervensi. Kami menyerahkan sepenuhnya proses penyelidikan kepada kepolisian. Tidak ada perlakuan khusus kepada siapa pun,” tegas Andi Sandi dalam konferensi pers daring yang berlangsung Senin (26/5).

Baca Juga: Cari Mobil dan Motor Murah? Pemkab Bantul Lelang Kendaraan Mulai Rp387 Ribuan!

Kampus dalam Posisi Menjaga: Duka, Etika, dan Hukum

Dalam tragedi seperti ini, kampus berada dalam posisi sulit—harus menjadi penenang, penghubung, dan penjaga nilai sekaligus. Di satu sisi, ada keluarga korban yang berduka dan menuntut keadilan. Di sisi lain, ada mahasiswa aktif yang tengah menjalani proses hukum dan belum divonis bersalah. Kampus harus berdiri di tengah, netral tapi tidak diam.

UGM menyatakan telah memberikan pendampingan emosional dan administratif kepada keluarga Argo. Saat pelepasan jenazah, perwakilan universitas hadir. Komunikasi terus dijalin, dan segala proses dilakukan dengan semangat kemanusiaan yang luhur.

Namun soal mediasi atau jalur penyelesaian, kampus memilih untuk tidak cawe-cawe. Semua tetap berada di bawah otoritas Polresta Sleman. “Kami tidak punya niat untuk memengaruhi proses hukum. Jika nantinya ada putusan hukum tetap, barulah kami akan menindaklanjuti sesuai tata tertib akademik,” jelas Sandi.

Baca Juga: BMW Tabrak Mahasiswa UGM hingga Meninggal di Sleman: Pengemudi Tersangka

Antara Duka dan Harapan: Menjaga Nilai di Tengah Krisis

Di balik layar hukum dan prosedur, tragedi ini mengajarkan bahwa sebuah kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang hidup bersama yang rawan luka. Ketika satu mahasiswa berpulang, kampus berduka. Ketika mahasiswa lain harus berurusan dengan hukum, kampus ikut menanggung beban moralnya.

“Peristiwa ini adalah pengingat bagi kita semua,” ucap Andi Sandi lirih.

Argo mungkin telah pergi. Tapi kepergiannya meninggalkan refleksi penting bagi seluruh komunitas kampus: tentang bagaimana kita berkendara, bagaimana kita bertanggung jawab, dan bagaimana kita menjaga satu sama lain. Ini bukan hanya tentang satu kecelakaan. Ini tentang nilai yang harus terus dijaga.

Sebab, dalam dunia akademik yang sarat prestasi dan kompetisi, tragedi seperti ini menunjukkan bahwa kemanusiaan tetap harus jadi landasan. []

Related posts