BacaJogja – Suasana pagi di Lapangan Dwi Lomba, Kalurahan Temuwuh, Kapanewon Dlingo, Bantul terasa berbeda pada Rabu (28/5/2025). Wangi nasi gurih yang menggoda selera menyeruak dari ribuan anyaman daun kelapa yang tersaji rapi. Bukan sembarang sajian—sebanyak 2.025 nasi sarang hasil swadaya warga dihidangkan dalam rangka Merti Desa bertajuk Grebeg 2025 Sarang.
Merti Desa bukan hanya soal ritual tahunan atau perayaan budaya semata. Di Temuwuh, ia menjadi denyut nadi yang menyatukan, ruang kolektif tempat rasa memiliki dan gotong royong mewujud dalam bentuk paling nyata: makanan.
“Nasi sarang ini kami buat bersama-sama. Semua warga terlibat. Ini bukan sekadar makanan, tapi simbol persatuan dan rasa syukur kami,” ungkap Lurah Temuwuh, Suratno, dengan mata berbinar. Ia menjelaskan bahwa seluruh sajian merupakan hasil swadaya masyarakat, disiapkan untuk dinikmati tidak hanya oleh warga Temuwuh, tapi juga masyarakat sekitar.
Baca Juga: Rip Current Parangtritis Nyaris Telan Tiga Wisatawan Asal Sragen dan Karanganyar
Nasi sarang sendiri adalah nasi gurih atau nasi uduk yang disajikan dalam wadah anyaman janur, berbentuk menyerupai sarang burung. Di dalamnya, terselip ayam ingkung lengkap dengan lauk pauk tradisional, menyimbolkan kemakmuran dan berkah alam.
Wakil Bupati Bantul, Aris Suharyanta, turut hadir dalam perayaan ini. Baginya, Merti Desa adalah lebih dari sekadar pesta rakyat. Ia menyebutnya sebagai warisan hidup—tradisi yang menyimpan nilai-nilai luhur yang patut dilestarikan.
Baca Juga: Viral! Pengunjung Alkid Jogja Dimaki Pengemis Gegara Kasih Uang Rp1.000
“Ini adalah bentuk nyata dari gotong royong, semangat kebersamaan, dan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Merti Desa bisa menjadi sarana edukasi, rekreasi, dan bahkan pintu masuk menuju ekonomi berbasis budaya,” tutur Aris.
Di tengah tantangan zaman yang kerap melunturkan akar budaya, Temuwuh memberi pelajaran penting: bahwa tradisi akan tetap hidup, selama masyarakatnya percaya dan bersedia menjaganya—dengan cara yang hangat, mengenyangkan, dan membahagiakan.
Dan 2.025 nasi sarang itu, bukan hanya suguhan, tapi cerita—tentang cinta pada tanah leluhur yang terus mengalir dari generasi ke generasi. []