BacaJogja – Di sudut-sudut kota Yogyakarta, warkop dan warmindo selalu punya cerita. Bukan sekadar tempat minum kopi atau makan mie instan, keduanya sering menjadi ruang pertemuan, tempat istirahat, hingga saksi bisu dinamika kehidupan warga kota.
Belakangan, ada fenomena menarik yang mencuri perhatian. Para pengemudi ojek online, setelah menuntaskan atau menunggu orderan, sering menjadikan warkop dan warmindo sebagai persinggahan. Sebagian bahkan menyebutnya “basecamp dadakan”.
Suasana itu biasa terlihat: deretan motor parkir rapi, meja-meja dipenuhi driver berseragam jaket khas, sebagian asyik menatap layar ponsel, sebagian lagi bercanda ringan sambil menyeruput kopi. Ada pula yang sibuk mengisi daya ponsel—alat tempur utama mereka di jalanan.
Baca Juga: Anggaran Subsidi Trans Jogja Dipangkas Rp6,8 Miliar, Ini Respons Warga Yogyakarta
Namun, kehangatan suasana ini menyimpan dilema. Para driver umumnya hanya memesan segelas kopi atau menyantap mie instan tanpa telor, lalu duduk berjam-jam.
Bagi pemilik warkop, kondisi ini menimbulkan rasa campur aduk. “Kalau lihat warung rame, orang kira laris. Padahal omzet nggak sebanding. Kursi kepenuhan, tapi pemasukan minim,” keluh seorang pemilik warmindo di kawasan Umbulharjo Jogja.
Fenomena ini memang menghadirkan dua sisi. Di satu sisi, warkop adalah ruang terbuka yang ramah bagi siapa saja, termasuk driver ojol yang butuh rehat setelah berkeliling kota. Di sisi lain, ada realita ekonomi yang harus dihadapi pemilik usaha kecil: kursi dan meja yang terisi lama, tidak selalu berbanding lurus dengan cuan.
Baca Juga: Tanda Cinta Perum Azzahra Garden: Berbagi Sembako dan Senyum di Jetis Imogiri Bantul
Sebagian pemilik warkop memilih bersabar, melihatnya sebagai bagian dari atmosfer sosial Jogja. “Kasihan juga kalau dilarang. Mereka kan cari makan di jalan, butuh tempat singgah,” ujar seorang pemilik warkop di kawasan Jalan Kaliurang.
Sementara itu, bagi para driver, keberadaan warkop dan warmindo ibarat oase. Tempat untuk menunggu order berikutnya, mengisi baterai, atau sekadar melepas lelah. “Kalau di jalan terus, capek. Di sini bisa istirahat, bisa ngobrol sama teman-teman, kadang ada WiFi free akses juga,” kata Budi, seorang driver ojol yang sudah tiga tahun beroperasi di Jogja.
Pada akhirnya, warkop dan warmindo tetaplah ruang publik kecil yang merekam denyut nadi kehidupan kota. Di antara kepulan asap kopi, suara motor yang hilir mudik, hingga obrolan santai driver ojol, ada dinamika sosial-ekonomi yang nyata. Sebuah potret bagaimana Jogja menampung ragam cerita, sekaligus menghadirkan dilema kecil yang tak pernah kehilangan sisi humanisnya. []