BacaJogja – Di balik senyum ramah yang kerap menyapa penumpang, ada kisah getir yang jarang terdengar dari para perempuan pengemudi ojek online. Mereka tidak hanya berpacu dengan waktu di jalan raya, tetapi juga berpacu dengan hidup—membagi tenaga antara mencari nafkah, menjaga keselamatan diri, menghadapi stigma sosial, hingga tetap memikul tanggung jawab rumah tangga.
Realitas inilah yang ditangkap dengan tajam oleh Tim Soenario Kolopaking dari Departemen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM). Lewat karya ilmiah berjudul “Publik di Antara Negara dan Pasar: Perjuangan Driver Ojol Perempuan dalam Kerentanan yang Berlapis dan Berkelanjutan,” tim ini berhasil meraih Juara 1 Lomba Artikel Ilmiah Mahasiswa tingkat nasional pada ajang Sociology Competition of Unesa (SOCIUS) 2025.
Riset dari Jalanan Yogyakarta
Tim yang digawangi Nurima Setianingrum dan Afkaar Nabil Falah, dengan bimbingan Gregorius Ragil Wibawanto, M.A., memilih pendekatan kualitatif. Mereka turun langsung, melakukan observasi partisipatif, mewawancarai driver ojol perempuan, dan menyelami keseharian yang penuh tantangan.
Baca Juga: Program Z-Auto BAZNAS Kulon Progo: Dorong Kemandirian Ekonomi dengan Bengkel Motor
Hasilnya, tersingkap potret kehidupan yang penuh kerentanan. Dari tekanan ekonomi yang memaksa mereka terus melaju meski hujan atau panas, hingga risiko pelecehan dan bahaya di jalan yang setiap hari membayangi. Belum lagi beban ganda yang harus mereka jalani: menjadi tulang punggung keluarga sekaligus pengurus rumah tangga.
“Kerja berbasis digital tidak serta merta memerdekakan semua orang. Di balik kecanggihan teknologi dan slogan-slogan motivasional, ada cerita tentang perjuangan, ketidakpastian, dan pengabaian hak,” ujar Nurima, Jumat (26/9).
Solidaritas di Tengah Kerentanan
Namun, di balik kerentanan itu, muncul kekuatan yang tak kalah besar: solidaritas. Para perempuan ojol membangun ruang bersama lewat komunitas seperti Srikandi dan KGMP. Di sana, mereka saling menguatkan, berbagi pengalaman, dan menciptakan ruang aman ketika negara maupun pasar belum memberi perlindungan cukup.
Baca Juga: Jogja Zero Gepeng: Yogyakarta Tegaskan Penanganan Humanis Gelandangan dan Pengamen
Afkaar menegaskan, penelitian ini tidak hanya soal perlombaan, melainkan juga bentuk advokasi. “Sejatinya mereka bekerja bukan untuk memperkaya diri, tetapi untuk menyambung hidup esok hari,” ungkapnya.
Kemenangan ini bukan sekadar prestasi akademik bagi UGM. Lebih dari itu, riset ini menjadi jembatan untuk memahami kehidupan kelompok rentan di era digital. Harapannya, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi pemerintah dan perusahaan platform untuk merancang kebijakan yang lebih adil dan berpihak kepada pekerja perempuan.
Di jalan-jalan Yogyakarta, perempuan-perempuan ojol masih terus menyalakan mesin motor mereka, membawa penumpang, mengantarkan pesanan, sekaligus menanggung beban yang berlapis. Tetapi di balik itu, mereka juga membawa harapan tunggal: agar jerih payah mereka diakui, dilindungi, dan tak lagi terabaikan. []