Suatu sore yang biasa, seorang pembeli masuk ke minimarket jaringan nasional di kawasan Sleman. Niatnya sederhana: membeli beberapa barang kebutuhan harian. Jumlah belanjanya pun tak besar, hanya Rp24.800.
Namun dari pembelian kecil itu, lahirlah pengalaman yang membuatnya mengernyitkan dahi, menggeleng kepala, bahkan merasa perlu menyampaikan unek-uneknya ke media sosial.
“Pak, pakai kantong enggak?” tanya kasir.
“Iya, tapi yang tanggung agak besar sedikit ya, Mas,” jawab si pembeli sambil berharap kantong plastik yang bisa menampung snack dan botol air yang dibelinya.
Ternyata harapan itu pupus.
“Maaf, Pak, tinggal yang paling kecil,” jawab kasir.
Tentu saja kantong kecil tak akan cukup. Bukan soal bayarnya—karena besar atau kecil, harganya tetap sama—melainkan soal fungsi. Apa gunanya membayar kantong plastik jika pada akhirnya harus memeluk belanjaan agar tidak jatuh?
Dengan nada kecewa, si pembeli memilih untuk menolak menggunakan kantong sama sekali. Barang dibawa begitu saja. Namun, cerita belum selesai.
Ia menyerahkan uang Rp50.000 kepada kasir. Total belanjanya Rp24.800. Maka seharusnya kembalian yang diterima adalah Rp25.200.
Namun tanpa konfirmasi, sang kasir hanya mengembalikan Rp25.000 dan berkata, “Yang dua ratus buat donasi ya, Pak.”
Kata “donasi” yang meluncur ringan itu justru menyulut emosi. Masalah kantong belum usai, kini muncul isu baru: kembalian yang “dianggap donasi” tanpa persetujuan.
“Maaf, Mas. Saya minta aja yang dua ratus,” katanya.
Baca Juga: Embung Grigak: Waduk Tepi Samudera Pertama di Indonesia, Ikon Wisata dan Pertanian Gunungkidul
Ekspresi bingung langsung terlihat di wajah sang kasir. Ia lalu menjawab, “Maaf Pak, enggak ada yang dua ratusan.”
Rasa kesal bertumpuk. Dengan kecewa, si pembeli keluar dari toko, sembari bergumam dalam hati, “Biar yang dua ratus saya tuntut di akhirat. Enggak ikhlas saya…”
—000—
Cerita ini barangkali terdengar sepele. Namun, dari sebuah transaksi recehan, tersimpan banyak hal yang patut direnungkan.
Pertama, soal kesiapan layanan. Minimarket jejaring nasional seharusnya punya standar layanan yang konsisten—termasuk ketersediaan kantong dan uang kembalian. Jangan sampai pelanggan merasa dipermainkan, apalagi merasa “diakali” dalam urusan donasi.
Kedua, soal etika. Donasi adalah bentuk kebaikan hati yang tulus, bukan kebijakan sepihak yang lahir karena kasir tak punya uang receh.
Ketiga, ini soal kepercayaan. Uang dua ratus rupiah mungkin terdengar kecil, tapi bayangkan jika hal itu terjadi 500 kali sehari. Dalam sebulan, jumlahnya setara dengan UMR di banyak daerah.
Mungkin ini hanya satu cerita dari satu pembeli. Tapi bisa jadi ini juga cerita kita semua—yang pernah merasa jengkel di depan meja kasir, karena hal-hal kecil yang mestinya bisa ditangani lebih profesional. []