BacaJogja – Kabut pagi menyelimuti lereng Gunung Merapi. Di antara desir angin yang membawa hawa belerang, terdengar gamelan sayup-sayup mengiringi langkah para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Mereka membawa gunungan, sesaji, dan doa menuju Pos 1 Bedengan hingga Pos 2 Srimanganti—tempat sakral di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Setiap tanggal 30 Rajab, prosesi Labuhan Merapi digelar dengan penuh khidmat. Di balik ritual yang terlihat sederhana itu, tersimpan pesan mendalam tentang keseimbangan alam, penghormatan terhadap leluhur, dan konservasi ekosistem Merapi.
Warisan dari Abad ke XVII
Tradisi Labuhan Merapi merupakan bagian dari Labuhan Alit, upacara tahunan Keraton Yogyakarta yang juga dilakukan di Pantai Parangkusumo dan Gunung Lawu. Sejarahnya menembus zaman Mataram Islam abad ke XVII, ketika raja memohon keselamatan kerajaan sekaligus menegaskan relasi kosmis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Baca Juga: Jeritan Sunyi di Pohon Jati: Kisah Pria Asal Sleman yang Hilang Berakhir Duka di Purworejo
Dalam pandangan masyarakat Merapi, gunung bukan hanya bentang alam, tetapi juga rumah bagi roh penjaga seperti Eyang Sapu Jagad, sosok mitologis yang dipercaya melindungi lereng dan desa-desa sekitarnya. Karena itu, setiap ritual selalu disertai pantangan dan aturan adat yang menumbuhkan rasa hormat terhadap alam.
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi menjadi salah satu ekosistem gunung api paling kompleks di Jawa. Berdasarkan data Geopark Merapi, wilayah ini menjadi rumah bagi 311 jenis flora dan 408 fauna, termasuk spesies langka dan dilindungi. Vegetasinya terdiri atas 79 jenis pohon, 33 jenis perdu, 61 jenis anggrek, dan 32 jenis paku-pakuan, yang semuanya berperan penting dalam menjaga kestabilan tanah dan air.
Namun, letusan besar Merapi tahun 2010 mengubah wajah ekosistem secara drastis. Penelitian yang dilakukan LIPI dan berbagai universitas mencatat bahwa setelah erupsi, hanya tersisa 135 spesies tumbuhan dari 64 famili, dan proses suksesi vegetasi masih berjalan hingga kini.
Baca Juga: Polsek Gamping Razia dan Patroli Malam Cegah Balap Liar di Ringroad Barat Sleman
Dari segi ekologis, hutan Merapi berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) penting bagi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ia menjadi “paru-paru” yang menjaga keseimbangan iklim mikro dan sumber air tanah. Maka, menjaga kelestarian vegetasi Merapi berarti menjaga kehidupan ribuan warga di sekitarnya.
Kearifan Lokal Bertemu Ilmu Pengetahuan
Kesadaran ekologis inilah yang menarik perhatian tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka meneliti Labuhan Merapi dari perspektif etnoekologi dengan judul, “Labuhan Merapi: Analisis Aspek Ekologi Ritual dalam Upaya Konservasi Hutan dan Relevansinya dalam Perspektif Sains Modern.”
Tim ini terdiri atas Bhara Dewaji (Ketua, Fakultas Kehutanan 2023), Vina Indrawati (Kehutanan 2024), Yassa Allaya Annas (Kehutanan 2024), Reina Arkhadia Eka Putri (Vokasi 2024), dan Inoora Putri Haliza (Ilmu Budaya 2024). Mereka turun langsung ke lapangan, mewawancarai tokoh adat, dan melakukan analisis vegetasi di kawasan ritual.
“Labuhan Merapi bukan sekadar tradisi, tetapi memiliki makna dan pesan konservasi. Ada aturan, pantangan, mitos, dan folklor mengenai Eyang Sapu Jagad yang membentuk cara masyarakat menghormati alam, khususnya alam Merapi. Inilah yang menarik bagi kami untuk dikaji,” tutur Bhara Dewaji, Kamis (9/10).
Dari hasil penelitian, tim menemukan bahwa ritual dan konservasi saling bertaut. Masyarakat di sekitar Merapi memiliki larangan keras menebang pohon di wilayah sakral, membawa pulang tanaman dari lokasi ritual, atau merusak vegetasi di jalur prosesi. Sebaliknya, mereka diwajibkan untuk menjaga tanaman dan menanam kembali jenis lokal seperti tesek dan pule yang juga digunakan dalam upacara.
Baca Juga: Diterpa Angin Kencang, Dahan Beringin Tumbang Timpa Driver Ojol di Yogyakarta
Tanaman Ritual, Pelindung Ekosistem
Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa beberapa jenis tumbuhan yang digunakan dalam ritual memiliki fungsi ekologis penting. Misalnya, tanaman berakar kuat seperti Syzygium oleina (pucuk merah) yang dominan di lereng bawah, berperan mencegah erosi dan memperkuat struktur tanah.
Begitu pula dengan jenis semak seperti Brachiria mutica dan Ageratina repair yang ditemukan dalam studi vegetasi Merapi memiliki nilai penting tinggi (INP >100%) dan membantu menjaga kelembaban tanah pasca-erupsi.
“Ritual Labuhan Merapi sebenarnya adalah bentuk konservasi tak tersurat. Nilai-nilai budaya yang diwariskan turun-temurun mengajarkan masyarakat untuk menjaga keseimbangan alam tanpa harus mengenalnya dengan istilah ilmiah,” ungkap Bhara.
Ketika Ilmu dan Adat Berjalan Bersama
Sebagai bagian dari upaya penguatan kolaborasi, tim PKM-RSH UGM memaparkan hasil awal penelitian mereka di Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Kegiatan tersebut dihadiri langsung oleh Kepala Balai TNGM, Kepala SPTN Wilayah I dan II, Koordinator RPTN, serta perwakilan Polisi Hutan.
Baca Juga: Kuliner Ekstrem Gunungkidul: Puthul Goreng, Si Kumbang Musiman Kaya Protein yang Lagi Viral!
Dari pertemuan itu, muncul gagasan untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya dalam strategi pengelolaan kawasan konservasi, termasuk potensi edukasi berbasis kearifan lokal bagi masyarakat sekitar dan pengunjung.
Langkah ini menjadi bukti bahwa sains modern dan tradisi adat tidak harus berjalan berlawanan arah. Sebaliknya, keduanya bisa berpadu menjadi model konservasi yang lebih kontekstual—menghargai budaya sekaligus menjaga ekosistem.
Kini, di tengah ancaman perubahan iklim dan tekanan wisata massal, Labuhan Merapi tetap menjadi simbol hubungan spiritual dan ekologis antara manusia dan gunung. Ia bukan hanya ritual tahunan, tetapi juga pesan moral bagi generasi muda tentang bagaimana menjaga alam dengan cara yang sederhana namun bermakna.
Merapi mengajarkan bahwa keseimbangan bukanlah hasil dari teknologi semata, melainkan dari rasa hormat terhadap alam. Di tangan masyarakat lereng Merapi, doa dan sesaji bukan sekadar simbol mistik, melainkan bentuk paling luhur dari kesadaran ekologis.
Dan mungkin, di sanalah letak kebijaksanaan sejati—bahwa menjaga hutan bisa dimulai dari menjaga tradisi. []