BacaJogja – Di antara jalan-jalan tua Kotagede yang sarat sejarah, aroma manis dari tungku roti tradisional masih kerap menyeruak. Roti Kembang Waru—kue khas berbentuk bunga berkelopak delapan—menjadi saksi perjalanan panjang kuliner Yogyakarta dari masa Kerajaan Mataram Islam hingga kini. Tak sekadar panganan, ia adalah simbol kehangatan, keramahan, dan keterbukaan masyarakat Jawa.
Sejak Mei 2023, Roti Kembang Waru resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengakuan ini menegaskan bahwa kuliner tradisional bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang nilai, sejarah, dan identitas yang perlu dijaga lintas generasi.
“Roti Kembang Waru bukan sekadar kuliner tradisional, tapi dapat difortifikasi agar memiliki nilai tambah dan daya saing. Pasarnya juga bisa diperluas dengan varian rasa yang menarik minat anak-anak muda, bahkan menjadi oleh-oleh khas Yogyakarta selain Bakpia,” ujar Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, dalam Sarasehan Ekonomi Berbasis Lokal di RTHP Bumen Purbayan, Sabtu (18/10/2025).
Baca Juga: Arcadia Klitren: Ruang Hidup Baru untuk Wisata, Olahraga, dan UMKM Yogyakarta
Antara Tradisi dan Inovasi
Hasto menegaskan, pelestarian Roti Kembang Waru harus berjalan seiring dengan inovasi. Ia ingin agar kuliner ini tidak berhenti hanya pada nostalgia, tetapi juga menjadi bagian dari penguatan ekonomi lokal berbasis budaya.
“Melestarikan tradisi bukan berarti berhenti berinovasi, tapi memastikan warisan budaya tetap hidup di setiap zaman. Ke depan, kita akan upayakan agar Roti Kembang Waru didaftarkan HAKI supaya arah pengembangannya lebih terencana,” tuturnya.
Langkah itu sejalan dengan upaya Pemkot Yogyakarta dalam mengembangkan produk lokal, seperti Batik Segoro Amarto Reborn yang kini telah memiliki Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Menurut Hasto, bila Roti Kembang Waru memiliki merek, sertifikasi, dan narasi budaya yang kuat, maka potensi untuk menjadi bagian dari promosi pariwisata daerah sangat besar.
“Kita bisa bantu promosikan lewat berbagai event dan kolaborasi dengan gerakan ekonomi kreatif serta UMKM, agar manfaatnya langsung dirasakan masyarakat Kotagede,” imbuhnya.
Simbol Kearifan dan Identitas Lokal
Seniman dan budayawan RM Altiyanto Henryawan memandang Roti Kembang Waru sebagai simbol kearifan lokal yang mampu memperkuat identitas Kotagede sebagai kawasan bersejarah.
“Kotagede bisa mengaktivasi Roti Kembang Waru dengan narasi yang lebih kuat. Cerita sejarah dan pengalaman membuat roti ini bisa menjadi daya tarik wisata kuliner yang bernilai tinggi,” ujarnya.
Ia menilai, pengalaman langsung membuat Roti Kembang Waru bisa menjadi heritage experience yang menarik bagi wisatawan, sekaligus menghidupkan kembali interaksi sosial khas masyarakat Kotagede.
Namun, pelestarian kuliner ini tak lepas dari tantangan. Indri Wahyuningsih, perwakilan Kelompok Perajin Roti Kembang Waru Purbo Arum, mengungkapkan kekhawatiran soal regenerasi.
“Anak-anak muda sekarang banyak yang memilih bekerja di sektor lain. Padahal kalau ditekuni, membuat Roti Kembang Waru bisa menjadi usaha yang menjanjikan,” ujarnya.
Baca Juga: Keracunan MBG di SMAN 1 Yogyakarta: SPPG Wajib Laporan Rutin dan Sertifikasi Ketat
Indri berharap pemerintah memberikan pendampingan yang berkelanjutan, mulai dari pelatihan produksi dan kemasan, pemasaran digital, hingga perizinan usaha. “Kami ingin Roti Kembang Waru tidak hanya bertahan sebagai warisan budaya, tapi juga menjadi ikon kuliner yang mendukung ekonomi warga Kotagede,” tambahnya.
Jejak yang Tak Lekang Waktu
Roti Kembang Waru bukan sekadar kue tradisional yang dinikmati saat acara hajatan atau perayaan. Ia adalah warisan yang mengikat masa lalu dan masa kini—menghadirkan rasa manis dari sejarah yang terus hidup di setiap gigitan.
Selama api tungku di dapur-dapur Kotagede masih menyala, selama tangan-tangan perajin masih menguleni adonan dengan cinta, maka kehangatan Roti Kembang Waru akan terus menjadi bagian dari kisah Yogyakarta yang tak lekang waktu. []