Batik City Run 2025: Saat Ribuan Pelari Menyatu dalam Semangat Batik di Jantung Yogyakarta

  • Whatsapp
Jogja Kota Batik
Sebanyak 1.500 pelari turut merayakan Batik City Run 2025 di Yogyakarta. Lebih dari sekadar olahraga, event ini menjadi sarana edukasi batik dan pelestarian warisan budaya bangsa. (Pemda DIY)

BacaJogja – Benteng Vredeburg, Yogyakarta, pagi itu berubah menjadi lautan warna dan semangat. Ribuan pelari berseragam batik berlarian menyusuri jalanan kota, bukan hanya mengejar garis finis, tapi juga merayakan identitas bangsa. Di tengah derap langkah kaki dan sorak dukungan warga, Batik City Run (BCR) 2025 menjadi ajang yang memadukan olahraga, budaya, dan edukasi dalam satu langkah penuh makna.

Gelaran tahunan yang diinisiasi Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik (BBSPJIKB) Kementerian Perindustrian ini berlangsung pada Minggu (12/10). Tak hanya memperingati Hari Batik Nasional, acara ini juga menjadi bagian dari perayaan pengukuhan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia pada 18 Oktober mendatang.

Read More

Mengusung dua kategori, 5K dan 3K, ajang ini diikuti oleh 1.500 pelari dari berbagai daerah. Tepat pukul 06.00 pagi, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X memimpin prosesi flag off untuk kategori 5K. Dengan nada tenang namun tegas, Sultan memberi pesan kepada seluruh pelari agar tetap berhati-hati di jalan yang tetap terbuka untuk kendaraan.

Baca Juga: Labuhan Merapi: Kearifan Lokal Keraton Yogyakarta Menjaga Hutan di Lereng Gunung Api

“Untuk para peserta yang berolahraga, jalan yang dilewati itu tidak ditutup. Jadi saya minta hati-hati saat ada di jalan ya. Karena ini juga weekend, kendaraan banyak. Harapan saya semua bisa sampai finis dengan selamat,” pesan Sri Sultan sebelum melepas pelari dengan senyum khasnya.


Batik, dari Kain Tradisi ke Gaya Hidup Modern

Usai melepas pelari, Sri Sultan mengunjungi sejumlah booth pameran, termasuk booth edukasi batik milik BBSPJIKB. Didampingi Kepala BBSPJIKB Jonni Afrizon, Sri Sultan sempat mencoba membatik secara langsung, mencelupkan canting ke malam hangat—sebuah simbol bahwa batik bukan sekadar kain, tapi warisan yang hidup.

Jonni menjelaskan bahwa Batik City Run bukan hanya tentang olahraga, melainkan upaya mengedukasi masyarakat agar batik tak lagi dianggap kuno atau terbatas pada acara formal.

“Batik City Run ini kami gagas agar masyarakat, terutama generasi muda, bisa merasa dekat dengan batik. Bahwa batik bisa dikenakan di mana saja, kapan saja. Bahkan sambil berlari,” ujar Jonni dengan nada antusias.

Selain soal gaya hidup, Jonni menekankan pentingnya edukasi ekonomi di balik batik. Menurutnya, regenerasi pembatik muda perlu segera dilakukan agar warisan ini tidak punah. “Tenaga pembatik rata-rata berusia di atas 40 tahun. Kami ingin menunjukkan bahwa batik juga punya nilai ekonomi dan peluang bisnis bagi anak muda,” lanjutnya.

Baca Juga: “Swargo Langgeng, Cah Bagus” — Duka Ayah Melepas Putranya di Balik Tragedi Jalan Wonosari


Batik Ramah Lingkungan dan Efek Ekonomi Lokal

Tak berhenti pada pelestarian, BBSPJIKB juga mendorong penggunaan bahan baku ramah lingkungan—dari malam berbasis sawit hingga pewarna alami dari tumbuhan. Edukasi ini menjadi bagian penting dari kampanye “Batik Ramah”, yang digaungkan melalui demo membatik usai pelari mencapai garis finis.

Menariknya, dampak positif BCR 2025 tak hanya terasa di lintasan lari, tapi juga di sektor pariwisata dan ekonomi lokal. “Alhamdulillah, hotel-hotel di sekitar lokasi acara penuh oleh peserta Batik City Run,” ungkap Jonni.

Ke depan, BBSPJIKB berencana memperluas skala kegiatan dengan mengadakan pameran batik nasional di Yogyakarta, melibatkan berbagai daerah penghasil batik di Nusantara. “Jogja ini kota batik dunia, tapi energinya harus bisa menyebar ke seluruh Indonesia,” imbuhnya.

Baca Juga: Jadwal Festival Kebudayaan Yogyakarta 2025 “Adoh Ratu Cedhak Watu”di Gunungkidul


Lari, Batik, dan Identitas Bangsa

Batik City Run 2025 menjadi cermin bagaimana tradisi dan modernitas bisa berpadu tanpa kehilangan makna. Dengan menggandeng Kayana Creative sebagai event organizer dan Jorace sebagai race management, para pelari tak hanya membawa pulang medali, tapi juga scarf batik eksklusif dan pengalaman berharga.

Di ujung acara, sinar matahari pagi memantul pada kain batik yang dikenakan para pelari. Keringat bercampur dengan kebanggaan, karena hari itu mereka tak hanya berlari, tapi juga meneguhkan identitas: bahwa batik bukan masa lalu, melainkan masa depan budaya Indonesia. []

Related posts