BacaJogja – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menegaskan komitmennya memperkuat desain dan implementasi Program Penjaminan Polis (PPP) sebagai langkah strategis menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Upaya ini menjadi krusial mengingat industri asuransi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir masih menghadapi tekanan akibat berbagai kasus gagal bayar hingga penurunan premi.
Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Penjaminan Polis LPS, Hermawan Setyo, dalam Press Gathering bersama wartawan Yogyakarta, Solo, dan Semarang yang berlangsung di Sasanti Restaurant, Yogyakarta, Sabtu (15/11/2025).
Hermawan menegaskan bahwa mandat baru LPS dalam penjaminan polis merupakan fondasi penting untuk memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap sektor asuransi. “Kepercayaan adalah jantung industri asuransi. Dengan mandat penjaminan polis, LPS hadir memberikan jaring pengaman yang selama ini belum dimiliki industri asuransi Indonesia,” ujarnya.
Dampak Kasus Gagal Bayar pada Industri Asuransi
Menurut Hermawan, rentetan kasus gagal bayar, pembekuan kegiatan usaha, hingga persoalan likuiditas yang menimpa beberapa perusahaan asuransi pada periode 2016–2020 memperlihatkan pentingnya penjaminan polis. Gangguan tersebut turut berkontribusi pada penurunan premi asuransi jiwa sebesar 3,8% dari Rp198,30 triliun menjadi Rp169,95 triliun dalam rentang 2018–2022.
Penurunan kinerja premi ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan sistem perlindungan yang mampu menjaga kepercayaan masyarakat.
Baca Juga: Ziarah Nasional di TMP Kusumanegara Yogyakarta, Momentum Memupuk Nasionalisme Generasi Muda
Tantangan Global: Protection Gap hingga Risiko Siber
Dalam paparannya, Hermawan juga memaparkan sejumlah tantangan global yang kini membayangi industri asuransi. Protection gap global pada 2023 tercatat mencapai US$1,83 triliun. Bahkan, sepanjang 2024, sebanyak 57% kerugian akibat bencana tercatat tidak diasuransikan.
“Isu perubahan iklim dan bencana alam meningkatkan urgensi pembentukan sistem penjaminan polis yang kuat. Di sisi lain, digitalisasi dan risiko siber menambah kompleksitas tantangan solvabilitas perusahaan asuransi,” jelas Hermawan.
Ia menambahkan bahwa sepanjang 2023 serangan siber meningkat 23%, sementara pemanfaatan teknologi AI dalam proses underwriting masih tergolong rendah. Kondisi ini menambah daftar risiko yang berpotensi mengganggu stabilitas sektor asuransi. []






