72 Tahun Cak Nun: Warisan Spiritualitas, Budaya, dan Moral Bangsa

  • Whatsapp
acara cak nun
Koseta menggelar acara bertajuk “Membaca Karya Emha dan Doa Ambal Warsa Cak Nun ke-72 di JEC. (ist)

BacaJogja – Minggu pagi (25/05/2025), Selasar Barat Jogja Expo Center (JEC) menjadi saksi perhelatan istimewa bertajuk “Membaca Karya Emha dan Doa Ambal Warsa Cak Nun ke-72”. Kegiatan ini bukan sekadar perayaan ulang tahun, melainkan bentuk cinta, doa, dan penghormatan terhadap sosok budayawan dan pemikir besar bangsa, Emha Ainun Nadjib—yang akrab disapa Cak Nun.

Diselenggarakan oleh Koperasi Jasa Seniman dan Budayawan Yogyakarta (KOSETA), acara ini menyatukan ribuan orang lintas generasi, agama, dan latar belakang. Sejak pukul 06.00 WIB, suasana khidmat menyelimuti lokasi. Para peserta larut dalam pembacaan puisi, refleksi pemikiran, hingga doa bersama—semuanya dipersembahkan untuk kesehatan dan keberkahan usia Cak Nun yang kini tengah menjalani masa pemulihan.

Read More

Kolaborasi Lintas Disiplin: Karya dan Doa Mengalir

Dipandu oleh MC Dewa PLO dan Setiawan Tiada Tara, acara dibuka secara resmi oleh Robby Kusumaharta (Wakil Ketua Umum KADIN DIY) mewakili Jogja Expo Center. Deretan tokoh dari berbagai disiplin ilmu turut hadir membacakan karya-karya Cak Nun yang sarat makna spiritual dan kebudayaan.

Baca Juga: Waspada Cuaca Ekstrem Yogyakarta 24–26 Mei 2025: Wilayah yang Berpotensi Terdampak

Dari kalangan akademisi dan guru besar, tampil nama-nama seperti Prof. Panut Mulyono, Prof. Fathul Wahid, Prof. Yudaryani, Prof. Aprinus Salam, Prof. Baiquni, hingga Prof. Zuli Qodir. Mereka membacakan puisi-puisi pilihan sebagai bentuk apresiasi intelektual terhadap pemikiran Cak Nun yang tak pernah lelah menjembatani nilai-nilai religiusitas, keadilan sosial, dan budaya lokal.

Dari dunia sastra dan budaya, tampil Mustofa W. Hasyim, Yati Pesek, Evi Idawati, Tazbir Abdullah, Agus Hartono, Hamdy Salad, Aning Ayu Kusumawati, hingga Lia Mustofa. Pembacaan yang mereka sampaikan bukan hanya indah, tapi menggugah kesadaran kolektif akan pentingnya spiritualitas yang membumi—sebagaimana yang selalu diajarkan Cak Nun.

Pesan Moral dan Nilai Keberagaman

Cak Nun bukan hanya penulis atau penceramah. Ia adalah cermin moral bangsa yang senantiasa menolak sekat-sekat formal. “Aku kamu, kamu aku, sama,” adalah prinsip yang ia pegang teguh. Ia tidak ingin disebut kiai atau gus, karena menurutnya, semua manusia memiliki kedudukan yang setara di hadapan Tuhan.

Baca Juga: Jogja Culture Show Diluncurkan di Taman Budaya Embung Giwangan Hari Ini, Gratis untuk Penonton Perdana!

Nilai ini hadir dalam berbagai kisah, seperti yang dibagikan Yati Pesek saat mengingat momen bersama KH Maimun Zubair. “Kalau kita salat, puasa, apakah kita jadi orang Arab?” tanya Cak Nun. Mbah Moen menjawab, “Tidak, kamu tetap orang Jawa.” Gagasan inilah yang menjadi pondasi pemikiran Cak Nun—menjalankan agama tanpa kehilangan identitas budaya lokal.

Simbol keberagaman juga menguat ketika Timotyus Apriyanto menyanyikan lagu “Tuhan” menjelang akhir acara. Sebuah pengingat bahwa karya dan kasih Cak Nun tak pernah membatasi diri oleh sekat agama maupun golongan.

Doa dan Harapan: Cak Nun Sebagai Lentera Bangsa

Menjelang akhir acara, doa bersama dipimpin oleh Dr. H. Adzfar Ammar dan Kiai Mustafid. Doa yang lembut mengalir, membawa harapan agar Cak Nun segera pulih dan kembali menyuarakan nilai-nilai kasih, keadilan, dan keberanian menyuarakan kebenaran di tengah tantangan zaman.

“Cak Nun adalah tokoh yang bisa diterima semua golongan. Beliau berani menyampaikan kebenaran dalam keadaan apa pun,” ujar Kiai Mustafid, menegaskan integritas Cak Nun di mata banyak kalangan.

Dalam usia 72 tahun, Cak Nun tetap menjadi bahan bakar semangat generasi muda. “Karya-karyanya adalah energi yang tak pernah habis,” ungkap Prof. Fathul Wahid. Pemikirannya tentang pembangunan bangsa yang bukan hanya fisik tapi juga pembangunan jiwa, menjadi pegangan penting di tengah arus zaman yang penuh tantangan.

Baca Juga: Duka di Tepian Sungai Progo: Jejak Sunyi Bayi yang Tak Sempat Menangis

Membaca Cak Nun, Membaca Indonesia

Perayaan ini bukan seremoni biasa. Ia adalah momen refleksi kebangsaan. Membaca karya Cak Nun berarti membaca ulang arah bangsa. Ia bukan sekadar budayawan, tapi lentera moral yang membimbing dalam gelap. Warisannya tidak hanya tertulis di buku dan panggung, tapi hidup dalam hati rakyat yang disentuhnya.

Dalam suasana penuh kekhidmatan dan kebersamaan, “Membaca Karya Emha dan Doa Ambal Warsa Cak Nun ke-72” menjadi perayaan yang akan dikenang bukan hanya sebagai ulang tahun, tapi sebagai pembacaan cinta, pembacaan bangsa, dan pembacaan kehidupan. []

Related posts