BacaJogja – Tangis bahagia pecah di kediaman sederhana di Jamsaren, Kediri, Jawa Timur. Di rumah itu, Eifie Julian Hikmah, 19 tahun, menerima kabar yang selama ini hanya ia panjatkan dalam doa: diterima kuliah gratis di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis.
Penerimaan itu bukan sekadar prestasi akademik biasa. Di baliknya terhampar perjuangan panjang seorang anak perempuan dengan disabilitas daksa, yang sejak lahir harus menghadapi keterbatasan fisik, keterbatasan ekonomi, hingga kehilangan orang yang paling ia cintai—sang ayah.
Lahir dengan “Kekurangan”, Dibesarkan Penuh Harapan
“Bu, kata bidan, ada kekurangan pada tangan Eifie,” ujar Mochamad Farid lirih kepada istrinya, Eny Nawangsih, sesaat setelah kelahiran putri mereka pada Minggu, 23 Juli 2006. Eny sempat tercekat. Sarung tangan bayi yang disiapkan tak terpakai. Eifie lahir dengan tangan kanan yang tidak berkembang sempurna.
Baca Juga: Jasad Misterius Tanpa Kepala Ditemukan di Pantai Krakal Gunungkidul
Dengan penghasilan sang ayah sebagai tukang kayu, kekhawatiran menyergap: mampukah mereka membesarkan anak ini dengan layak? Namun keluarga besar memberi semangat. “Eifie hadir sebagai rezeki,” kenang Eny. Maka bayi itu diberi nama lengkap Eifie Julian Hikmah—hikmah di bulan Juli.
Meski sempat jadi bahan olok-olok karena kondisi fisiknya, Eifie tumbuh menjadi pribadi tangguh. Ia selalu menempati peringkat pertama di sekolah dasar. Ibunya selalu mengajarkan: “Sekolah nomor satu. Jadilah orang pintar, tapi ojo minteri uwong.”
Bertemu Pelatih dari Penjaja Es Krim
Satu titik balik penting dalam hidupnya datang dari sosok tak terduga: Pak Karmani, penjaja es krim keliling yang juga pelatih atletik. Ia mengajak Eifie kecil untuk ikut latihan. Awalnya hanya lari, dengan sepatu sekolah seadanya. Untuk kompetisi pertama, keluarganya harus mengumpulkan uang demi membeli sepatu paku.
“Saat itu, Ayah cuma punya Rp150.000, Ibu bawa Rp19.000. Tapi Ayah pergi dan kembali dengan uang cukup untuk membeli sepatu itu,” kenangnya. Sejak itu, langkah Eifie tak pernah berhenti di lintasan. Dari Kejuaraan Walikota Cup Surabaya hingga Pekan Paralimpiade Nasional, ia terus menorehkan prestasi.
Namun bukan berarti semua berjalan mulus. Di banyak kejuaraan, ia harus menaklukkan bukan hanya lawan, tetapi rasa gugup dan kecewa. Bahkan pernah kehilangan peluang medali hanya karena selisih 0,0 detik.
Baca Juga: Sabtu Malam Mencekam: 4 Kecelakaan Terjadi di Yogyakarta, Ini Lokasinya
Kehilangan Sang Ayah, Memeluk Mimpi yang Tertunda
Pukulan terbesar datang pada 2024, saat sang ayah wafat, sebulan sebelum kejuaraan penting. “Dulu aku suka marah kalau ayah telat jemput. Sekarang aku nyesel. Kenapa Ayah nggak nunggu sampai aku ada di titik ini?” ujarnya pelan.
Namun kehilangan itu justru menguatkan tekad Eifie. Ia ingin melanjutkan jejak mimpi ayahnya yang dulu sempat mencicipi bangku kuliah, tapi harus berhenti karena kendala biaya. Sejak SMP, Eifie berjanji harus kuliah—apa pun caranya.
Video tentang PPSMB UGM yang ia lihat di media sosial memperkuat impiannya. Ia ingin berdiri di Balairung UGM, mengenakan almamater khas berbahan karung goni, dan menyanyikan lagu pembukaan mahasiswa baru.
Tapi jalan menuju kampus impian tak mudah. Ia gagal di SNBT, ditolak UM UGM, hingga akhirnya mencoba jalur PBU. Bahkan saat pengumuman, ia takut membuka laman hasil. “Aku minta maaf ke Ibu dulu, takut gagal lagi,” ceritanya.
Baca Juga: Ini Rute Lengkap Karnaval Budaya Gancahan Nyawiji 2025 di Sleman
Namun kali ini, tangis itu berbeda. Eifie diterima di UGM—kampus terbaik, melalui jalur PBUTM, dan mendapat subsidi UKT 100 persen.
Tak Tinggalkan Lintasan, Siap Cetak Sejarah
Kini Eifie bukan hanya mahasiswa UGM, tapi juga atlet nasional dengan sederet medali. Ia bertekad tetap berlatih, meski kini harus pandai membagi waktu. “Aku mau mecahin rekor pribadi, dan ngalahin lawan-lawan yang selama ini susah dikalahkan,” tegasnya.
Selain kuliah, ia ingin aktif berorganisasi, ikut magang, dan mengembangkan diri di banyak bidang. Pilihan Akuntansi bukan asal pilih—ia jatuh cinta pada mata pelajaran ini sejak SMA.
“Pendidikan itu penting, bukan cuma soal gelar. Tapi agar kita punya prinsip dan tahu bagaimana mengambil keputusan,” tuturnya. Ia pun berpesan kepada anak muda lainnya untuk menggali minat, dan jangan dengarkan orang yang menjatuhkan. “Semua orang punya waktunya masing-masing.” []