Menantang Pakem, Merangkul Tradisi: Kisah Rizki Rahma dan Jalan Sunyi Dalang Perempuan Yogyakarta

  • Whatsapp
Rizki Rahma Nurwahyuni
Rizki Rahma Nurwahyuni (IG pribadi)

BacaJogja – Di balik kelir yang temaram, bayang-bayang wayang menari mengikuti gerakan tangan seorang dalang. Namun malam itu, suara berat sang narator datang dari sosok yang tak biasa. Bukan pria berblangkon dan bersarung, melainkan seorang perempuan muda berselendang, duduk tegak di balik kotak wayang: Rizki Rahma Nurwahyuni.

Lahir dan besar di Yogyakarta, Rahma adalah sosok yang menabrak pakem. Dunia pedalangan yang selama ini lekat dengan sosok lelaki, perlahan ia masuki dengan kepercayaan diri dan rasa cinta pada budaya yang mengalir dari darahnya sendiri. Putri dari dalang ternama Ki Sigit Manggala Saputra ini mengenal wayang sejak kecil. Ketika teman-teman sebayanya sibuk bermain boneka, Rahma kecil justru sibuk menghafal lakon Hanoman Duta.

Read More

“Saya mulai mendalang sejak kelas tiga SD,” kenangnya. “Awalnya cuma ingin ikut-ikutan ayah, tapi ternyata jatuh cinta sama dunia wayang.”

Baca Juga: Taruban 2025: Upacara Adat Bersih Desa Tuksono Kulon Progo, Perpaduan Sakral dan Meriah 4–11 Mei

Kini di usia 29 tahun, Rahma tak hanya menjadi dalang perempuan yang jarang ditemui di panggung pewayangan. Ia juga seorang pegawai Pemkot Jogja yang tetap menyisihkan waktu untuk menjaga warisan budaya leluhurnya. Manggung dari kampung ke kampung, hingga tampil di kota-kota besar, Rahma membawa pesan yang sama: bahwa budaya harus dijaga, dan perempuan juga punya tempat dalam dunia itu.

Namun perjalanannya bukan tanpa tantangan. Wayang kulit penuh dengan tokoh-tokoh maskulin yang menuntut penghayatan dan intonasi suara yang dalam dan berat. “Itu jadi tantangan sendiri buat saya,” ujarnya. “Saya harus melatih suara agar bisa membawakan karakter laki-laki dengan kuat.”

Tak hanya suara, stamina juga menjadi persoalan. Bila dalang laki-laki bisa mendalang hingga tujuh jam tanpa henti, Rahma mengaku baru bisa bertahan dua jam. Tapi itu tak mematahkan semangatnya. Justru dari keterbatasan itu, Rahma menumbuhkan semangat baru—menemukan cara agar wayang tetap relevan di masa kini.

Baca Juga: Selamat Tinggal, KFC Sudirman: Wisma Hartono Pamit Setelah 30 Tahun Menemani Jogja

Salah satu inovasinya adalah wayang sinema, sebuah pertunjukan yang memadukan wayang kulit dengan layar LED dan tata cahaya modern. Inisiatif ini disambut hangat, terutama oleh generasi muda. “Anak-anak sekarang terbiasa dengan visual digital. Jadi saya mencoba menjembatani itu, agar mereka tetap bisa mencintai wayang,” ujarnya.

Tak berhenti di situ, Rahma juga aktif mengunggah potongan pementasan dan edukasi seputar wayang di media sosial. Ia menjadikan dunia maya sebagai panggung barunya—yang tanpa batas ruang dan waktu.

Rizki Rahma Nurwahyuni bukan hanya seorang dalang. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan inovasi. Di balik layar kelir dan bayangan tokoh-tokoh pewayangan, Rahma menyuarakan mimpi banyak perempuan: untuk bisa hadir, didengar, dan menghidupkan kembali budaya dengan caranya sendiri. []

Related posts