BacaJogja – Dalam sejarah panjang Kesultanan Yogyakarta, Geger Sepoy (atau Geger Sepehi) menjadi salah satu babak penting yang menandai pertemuan antara intrik kekuasaan lokal dan intervensi kolonial. Salah satu titik krusial dalam konflik ini terjadi di Pojok Beteng Tanjung Anom, sebuah bastion strategis yang menjadi sasaran serangan hebat pasukan Inggris.
Pojok Beteng Tanjung Anom: Benteng Terdekat ke Jantung Kadipaten
Benteng ini terletak di sudut tenggara keraton, tak jauh dari Istana Sawo Jajar—kediaman resmi Gusti Hamangku Nagara, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang juga dikenal sebagai Raden Mas Surojo. Ia adalah ayah dari tokoh besar sejarah, Pangeran Diponegoro, dan merupakan anak dari Gusti Kanjeng Ratu Kedaton.
Baca Juga: “Titip Anak dan Maafkan Aku”: Catatan Kecil Fransisca Sebelum Menghilang
Hubungan antara Gusti Hamangku Nagara dan ayahandanya, Sultan Hamengkubuwono II, saat itu kurang harmonis. Hal ini disebabkan oleh sejarah singkat ketika Daendels sempat menobatkannya sebagai raja, sebelum akhirnya dicopot kembali setelah Daendels ditarik pulang ke Eropa. Dinamika kekuasaan ini turut mempengaruhi respons dan strategi pertahanan dalam menghadapi ancaman eksternal.
Permintaan Bantuan yang Terbatas
Ketika kondisi pertempuran memburuk dan serangan Inggris makin intensif, Gusti Hamangku Nagara mengirimkan pamannya, Pangeran Haryo Panular—putra Sultan Hamengkubuwono I—untuk menghadap Sultan HB II dan memohon bantuan.
Sultan HB II merespons dengan menyatakan bahwa wilayah Kadipaten sudah dilengkapi oleh beberapa bregada pengawal putra mahkota, yaitu:
- Mancapratama
- Prawiratama
- Jayengastra
- Langenastra
- Pancasura
- Surakarsa
Baca Juga: Dolan Deso Mboro: Liburan Aman di Pelukan Alam Kulon Progo
Namun atas pertimbangan Gusti Mangkudiningrat (putra dari GKR Hemas), bantuan tambahan yang dikirimkan hanya berupa pasukan artileri dan persediaan mesiu. Keputusan ini mencerminkan kehati-hatian politik dan keterbatasan dukungan penuh dari pusat kekuasaan.
Strategi Bertahan dan Bayang-Bayang Eksodus
Gusti Hamangku Nagara memilih bertahan di Kadipaten, dengan opsi mengungsi ke Tamansari jika kondisi semakin genting. Ia tidak sendiri. Tiga paman dari garis Sultan HB I, yaitu Pangeran Haryo Panular, Pangeran Haryo Abubakar, dan Pangeran Haryo Dipasanta, turut mendampingi dalam masa-masa krisis tersebut.
Baca Juga: Pantai Krokoh: Surga Tersembunyi di Ujung Gunungkidul dengan Spot Sunrise yang Instagramable
Hari pertama Geger Sepoy berakhir pada pukul 21.00 malam. Para pihak yang terlibat—baik dari pihak Kesultanan maupun Inggris—terlalu letih untuk menyadari bahwa babak penentuan dari konflik ini akan segera tiba hanya dalam hitungan jam berikutnya.
Penting untuk memahami konteks zaman tahun 1800-an, di mana konsep nasionalisme dan kesatuan negara Indonesia belum lahir. Tiap kerajaan, termasuk Yogyakarta, adalah entitas berdaulat dengan kebijakan luar negeri sendiri-sendiri. Menyikapi sejarah dari sudut pandang masa kini tanpa mempertimbangkan realitas zamannya dapat menyesatkan kita dalam menilai tokoh-tokoh sejarah.
Referensi:
- Serat Rajaputra
- Sejarah Kesultanan Yogyakarta
- Sejarah Jogyakarta