Mengenal Jathilan Klasik yang Dibawakan Turangga Eka Budaya Kalibawang Kulon Progo

  • Whatsapp
jathilan klasik turangga eka budaya
Turangga Eka Budaya selaku pembawa jathilan klasik. (Foto: Luciana Bertha Ananda)

Kulon Progo – Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo menggelar Pentas Seni Budaya dalam sub bab kegiatan Pengelolaan dan Pengembangan Taman Budaya Kabupaten. Digelar pada Kamis, 30 September 2021 di Taman Budaya Kulon Progo dengan pentas bersifat tertutup tanpa kehadiran penonton serta mematuhi protokol kesehatan.

Pementasan terdiri dari beragam penampil kesenian dari berbagai kapanewon. Salah satunya perwakilan dari Kapanewon Kalibawang yaitu Turangga Eka Budaya, kelompok kesenian jathilan dari Padukuhan Tosari, Kalurahan Banjarasri, Kapanewon Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta

Read More

“Wiyaga yang sebenarnya sepuluh orang, ini diperkecil jadi delapan orang karena batasan dari pemerintah karena masih PPKM,” ungkap Sugeng selaku penata tari, pada Kamis, 30 September 2021.

Baca Juga: Merawat Cagar Budaya Yogyakarta dengan Festival Kebudayaan Kotagede

Mereka memilih menampilkan kesenian Jathilan Klasik (Lancuran). Pemilihan tarian tersebut dianggap dapat mewakili keunikan dan keberagaman dari perpaduan gerakan atau tarian dengan musik gamelan berupa gong, bende, angklung, dan kendhang yang khas dengan bunyian pong dil pong dil.

Selain musik gamelan yang unik, gerakan dalam Lancuran tak kalah klasiknya dengan ragam gerakan tari yang masih mempertahankan warisan turun-temurun. “Turangga Eka Budaya masih mempertahankan warisan berupa tarian yang sudah ada sejak zaman dahulu istilahnya dari zaman mbah-mbah,” ungkapnya.

jathilan lancuran
Poster sebagai penggambaran jathilan ketika pentas dengan peraga enam orang sebagai penunggang kuda kepang. (Foto: Sugeng)

Ia juga menambahkan bahwa tidak ada perubahan dari semua komponen jathilan ini, untuk tembangan berupa Tembang Jawa seperti zaman perjuangan dahulu.

Makna dari jathilan atau klasikan ini merupakan gambaran prajurit yang sedang berlatih (gladen) perang, yang dimainkan oleh enam orang penunggang kuda kepang sebagai penggambaran prajurit berkuda. Ditambah dengan kehadiran penthul dan tembem sebagai penggambaran emban atau dalam pewayangan merupakan punakawan.

Baca Juga: Jamasan Pusaka Bantul dan Filosofi Tombak Kyai Hagya Murni Pemberian Sri Sultan HB X

Untuk pakaian yang dikenakan para penari berupa baju berwarna putih, penutup kepala bewarna merah yang bentuknya menyerupai senjata lancur (senjata tajam yang melengkung ke depan. Dari kekhasan penutup kepala (kuluk) ini tersebutlah Lancur atau Lancuran.

Jadi karena Jathilan Klasik ini memiliki tiga komponen utama dari gamelan, tarian, dan kostum yang dikenakan, maka biasanya disebut dengan istilah Jathilan Klasik, Lancur, atau Pondil.

Baca Juga: Menengok Jamasan Pusaka Alip 1955 Keraton Yogyakarta saat Pagebluk

Tak hanya itu kelompok kesenian Turangga Eka Budaya memiliki semboyan “Klasik Tapi Menarik” dengan kekhasan Jathilan Lancuran yang masih dilestarikan hingga saat ini, meskipun di tengah gempuran jathilan kreasi baru.

Jathilan Lancuran disakralkan terlebih dalam tradisi ngudar ujar (ngluari ujar). Ujar merupakan niatan, doa, atau janji yang diucapkan seseorang ketika mengharap sesuatu setelah harapan tercapai, maka dipentaskanlah kesenian jathilan dan di tengah-tengah pentas akan dilaksanakan prosesi ngudar ujar, dengan menarik ketupat luar, dengan harapan ucapan atau ujar yang pernah terucap dapat luar atau terlepas. []

Artikel kiriman Luciana Bertha Ananda, Mahasiswa Public Relations ASMI Santa Maria Yogyakarta

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *