Yogyakarta – Kawasan Malioboro yang membentang sebagai bagian poros imajiner Yogyakarta menyimpan sejuta makna. Konon Malioboro dimaknai sebagai perjalanan menjadi Wali atau Mali dan Oboro yang berarti mengembara.
Secara singkat kawasan Malioboro yang terdiri dari dua nama jalan utama yakni Margomulyo dan Margo Utomo adalah bagian dari konsep Sangkan Paraning Dumadi atau perjalanan manusia dari lahir hingga kembali kepada Sang Pencipta.
Baca Juga: 10 Spot Foto Instagramable Gratis di Sepanjang Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sangkan Paraning Dumadi memiliki simpul-simpul utama yakni Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta dan Tugu Yogyakarta. Panggung Krapyak ke Keraton melambangkan Sangkaning Dumadi atau perjalanan manusia sejak lahir hingga dewasa. Sementara Tugu menuju keraton yang melalui Malioboro melambangkan perjalanan manusia menuju akhir hayatnya.
Konsep ajaran Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I ini telah ada sejak awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta pada 1755. Malioboro dulunya berfungsi sebagai raja marga atau jalan kerajaan yang digunakan untuk kegiatan seremonial atau pun penyambutan tamu negara.
Baca Juga: Tugu Golong-Gilig, Karya Mangkubumi Pendiri Keraton Yogyakarta yang Tak Lagi Sama
Pada sekitar tahun 1870-an mulai berkembang sentra ekonomi di Yogyakarta seiring terbitnya UU Agraria. Pada periode ini mulai banyak dibangun stasiun, pusat perdagangan, bank dan sekolah. Selanjutnya pada awal abad ke-20 terjadi peningkatan jumlah pendatang di Yogyakarta dan membuat Malioboro menjadi jalan pertokoan paling sibuk hingga saat ini.
Malioboro ini tak hanya menjadikan cerita sejarah, namun juga menjadi sarana untuk menjamin keberlangsungan nafas perekonomian sosial dan budaya. Meski interaksi dan aktivitas kian bertambah Malioboro tetap menjadi bagian dari keutuhan konsep Sangkan Paraning Dumadi.
Baca Juga: Mengenang Pangeran Mangkubumi, Pendiri Keraton Yogyakarta
Manusia harus menyadari Titimangsane agar ruh ini tetap terjaga dengan semestinya mari kita memulai pengembaraan di Malioboro yang lebih khusuk, lebih tertata sebagai bagian dari proses pembersihan hati sebelum kembali kepada Sing Gawe Urip (Tuhan Pemberi Kehidupan).
Dolano Malioboro, Mugio Legowo (Singgahlah di Malioboro, semeoga hatimu lepang) (Pemda DIY)