Tiga Cerita Rakyat di Balik Rebo Pungkasan Wonokromo Pleret Bantul

  • Whatsapp
Rebo Pungkasan Wonokromo
Tradisi Rebo Pungkasan Wonokromo Pleret, Bantul. (Foto: Istimewa)

BacaJogja – Tradisi adat Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan di Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta hingga kini masih lestari. Ada beberapa mitos atau cerita di balik tradisi Rebo Pungkasan ini.

Dikutip dari Dinas Kebudayaan atau Kundha Kabudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) setidaknya ada tiga mitos mengenai tradisi adat ini. Pertama, tradisi ini bermula pada tahun 1784. Pada saat itu hidup seorang kiai Faqih Usman, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kiai Wonokromo Pertama atau Kiai Welit.

Read More

Baca Juga: Bekakak, Rebo Pungkasan dan Event Budaya Lainnya di Yogyakarta September 2022

Pada masa itu hidupnya mempunyai kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit. Dia mampu mengobati penyakit dan metode yang digunakan atau dipraktekkan dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat Alquran pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya dapat sembuh.

Suatu ketika di daerah Wonokromo dan sekitamya sedang terjadi pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang. Banyak warga berbondong-bondong ke rumah Kiai Wonokromo meminta obat dan meminta berkah keselamatan.

lemper rebo pungkasan
Lemper raksasa dalam kirab Rebo Pungkasan di Wonokromo Pleret Bantul. (Foto: Facebook/Hendro Prasetyo)

Ketenarannya tersebar sampai ke pelosok daerah, sehingga yang datang berobatpun semakin bertambah banyak. Di sekitar masjid dipadati para pedagang yang ingin mengais rezeki dan para tamu. Suasana seperti itu dapat mengganggu keagungan masjid dan merepotkan jamaah salat di masjid.

Mbah Kiai lalu menemukan cara paling efektif untuk memberikan pengobatan dan berkah keselamatan kepada warga, yakni menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada di sebelah timur kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.

Baca Juga: Kirab Lemper Raksasa Tradisi Rebo Pungkasan Wonokromo Pleret Bantul

Berkat ketenaran ini, lama kelamaan sampai terdengar pendiri Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I. Sang raja membuktikan berita tersebut dengan mengutus empat orang prajuritnya supaya membawa Kiai Welit ke Keraton Yogyakarta dan memperagakan ilmunya.

Temyata ilmu Mbah Kiai mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang sakit itu diobati dan sembuh. Setelah Kiai Welit meninggal, warga dari luar daerah meyakini mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwon dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman.

Baca Juga: Daftar Event Unggulan di Bantul Yogyakarta September 2022

Versi kedua, upacara rebo wekasan ini tidak terlepas dari Keraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah Plered menjadi ibukotanya. Pada masa pemerintahannya Mataram terjangkiti wabah penyakit atau pagebluk. Melihat penderitaan rakyatnya, Sultan Agung sangat prihatin yang kemudian bersemedi di sebuah masjid di Desa Kerta.

Setelah melakukan semedi, kemudian Sultan menerima wangsit atau ilham, bahwa wabah penyakit tersebut bias hilang dengan syarat mempunyai tolak bala. Dengan adanya wangsit tersebut, kemudian Sultan Agung memanggil Kiai Sidik yang bertempat tinggal di Desa Wonokromo untuk melaksanakan pembuatan tolak bala tersebut.

lemper rebo pungkasan
Lemper raksasa dalam kirab Rebo Pungkasan di Wonokromo Pleret Bantul. (Foto: Dok. Pemkab Bantul)

Setelah itu Kiai Sidik atau dikenal dengan nama Kiai Welit karena sudah mendengar keampuhannya itu. Setelah itu Kiai Welit melaksanakan dawuh untuk membuat tolak bala yang berwujud rajah dengan tulisan arab Bismillahi Rahmanir Rakhim sebanyak 124 baris.

Setelah tulisan yang berwujud rajah itu selesai kemudian dibungkus ndengan kain mori putih. Selanjutnya rajah tersebut diserahkan kepada Sultan Agung serta memohon supaya rajah tersebut dimasukkan kedalam air. Oleh Sultan Agung ajmat yang berupa rajah itu dimasukkan ke dalam bokor kencana yang sudah berisi air.

Baca Juga: Daftar Acara saat Puncak Saparan Ki Ageng Wononelo Selain Sebar Apem

Air ajimat itu kemudian diminumkan kepada orang sakit dan menyembuhkan. Mulai saat itu kabarnya tersebar sampai desa – desa dan menyebabkan orang sakit lalu berbondong bondong dating untk mendapatkan air dari ajimat tersebut.

Dengan banyak peduuk yang berdatangn untuk minta air ajimat, dikuatrikan air tersebut tidak mencukupi. Akhirnya Sultan Agung memerintahkan kepada Kyai sidik agar air ajimat yang masih tersisa dalam bokor kencana tadai dituangkan di tempuran kali Opak dan Gajah wong, dengan maksud supaya siapa saja yang membutuhkan cukup mandi di tempat tersebut.

Baca Juga: Rute dan Urut-urutan Kirab Saparan Bekakak di Gamping Sleman 2022

Berita itu cepat menyebar dan akhirnya masyarakat banyak yang mandi atau sekedar mencuci muka tempuran tersebut dengan harapan segala permasalahnnya dapat teratasi.

Versi ketiga, cerita tentang Rebo Wekasan, bagi masyarakat yang namanya bulan Sura dan Sapar itu merupakan bulan tersebut sering terjadi malapetaka atau bahaya. Untuk itu masyarakat berusaha untuk menolaknya, supaya pada bulan-bulan tersebut tidak terjadi apa-apa. Adapun caranya adalah memohon kepada orang atau kyai yang dianggap lebih pintar atau mumpuni.

Pada waktu itu orang yang dianggap pintar adalah Kiai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo. Kiai Faqih ini juga disebut Kiai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rumbia.

kirab rebo pungkasan
Kirab Rebo Pungkasan Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta. (Foto; Dok. Pemkab Bantul)

Mereka ini mendatangi Kiai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab. Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat.

Lama-kelamaan orang yang datang minta wifik atau rajah itu sangat banyak, sehingga Kiai Welit sangat repot. Akhirnya Kiai Welit menemukan cara baru, yaitu wifik atau rajah yang dipasang di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong.

Baca Juga: Kirab Budaya Padukuhan Ambarrukmo, Melestarikan Budaya Keraton Yogyakarta

Dengan cara ini orang tidak perlu mendatangi Kyai Welit dan mereka cukup mengambil air atau mandi di tempuran untuk mendapatkan berkah keselamatan sebagai sarana tolak bala. Konon di sungai tempuran itu setiap Rebo Wekasan bulan Sapar, yaitu pada-malam hari Selasa malam dipakai tempat penyeberangan orang-orang yang akan menuju ke Gunung Permoni yang terletak di Desa Karangwuni, Desa Trimulya.

Saat mereka menyeberang sungai memang ada yang melontarkan kata-kata umpatan atau kurang pantas. Apalagi yang menyeberang adalah wanita dengan sendirinya harus cincing atau mengangkat rok/kain supaya tidak basah. Dan situlah yang kemudian orang mengatakan kata-kata yang kurang pantas.

Baca Juga: Kirab Suran Mbah Demang, Sebagian Ring Road Yogyakarta Ditutup

Mereka menyeberang sungai karena waktu itu untuk menuju ke Gunung Permoni belum ada jembatan yang menghubungkan. Untuk itu satu-satunya jalan adalah menyeberang sungai tempuran tadi. Gunung Permoni ini merupakan Tamansari Keraton Mataram di Plered. Di tempat itu dijumpai adanya beberapa batu peninggalan dan Tamansari tersebut, batu itu di antaranya: Batu Ambon, Batu Panah, Batu Payung, Batu Jarum Sembrani dan sebagainya.

Mereka yang datang ke sana adalah nenepi atau untuk memohon sesuatu. Kaitannya dengan setiap hari Selasa malam Rabu – Rebo Wekasan – di bulan Sapar ini adalah banyaknya masyarakat yang menghadap kepada Kiai Faqih untuk meminta doa kepada beliau agar selamat dari malapetaka. []

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *