Meneropong Pengaruh Artificial Intelligence terhadap Masa Depan Pecipta Musik Manusia

  • Whatsapp
melodi AI
Ilustrasi musik dan melodi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Miftakhul Nur Rozak *)

Sejarah musik sangat panjang, dan tidak ada yang diketahui tentang asal-usulnya (Gray, 2005, 7). Musik telah berevolusi secara perlahan selama ribuan tahun. Cara kita memproduksi musik juga telah berevolusi, dari menggunakan tangan dan batu sebagai instrumen, memainkan alat musik akustik, hingga saat ini menggunakan komputer yang sudah dapat menciptakan musik sendiri. Penciptaan kecerdasan buatan memberikan kita kesempatan untuk menciptakan musik dengan lebih mudah daripada sebelumnya, tanpa perlu memikirkan melodi atau liriknya.

Read More

Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, kecerdasan buatan adalah ‘kapasitas komputer atau mesin lain untuk menunjukkan atau menstimulasi perilaku cerdas’. Karya musik pertama yang sepenuhnya dikembangkan yang dibuat dan dikomposisikan oleh kecerdasan buatan adalah skor Illiac Suite untuk String Quartet pada tahun 1957 (Holmes, 2020, 398).

Karya musik ini, meskipun digubah oleh komputer, berisi suara instrumen yang sebelumnya dimainkan oleh manusia. Lebih dari 50 tahun kemudian, sebuah program bertenaga pembelajaran mendalam yang disebut DeepBach yang diciptakan oleh Gaetan Hadjeres dan François Pachet muncul.

Baca Juga: Chossy Pratama Ungkap Peluang Artificial Intelligence untuk Perkembangan Industri Musik

Program ini dapat mengambil karya-karya komposer sebelumnya, menganalisis pola-pola yang ditemukan di dalamnya, dan menghasilkan musik baru yang mungkin saja ditulis oleh komposer aslinya—program ini melakukan hal tersebut pada komposer bernama Bach, oleh karena itu dinamakan DeepBach.

Kecerdasan buatan memang sangat menjanjikan dalam masa depan musik, namun, hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Artificial Intelligence (AI) dapat menggantikan orisinalitas manusia dalam menciptakan lagu?

Sejauh ini program-program AI yang telah ada dan berkembang seperti yang disebutkan pada paragraf sebelumnya memang dapat menciptakan musik baru, namun mereka masih bergantung pada karya-karya sebelumnya yang diciptakan oleh manusia, menganalisis pola-polanya dan tidak memiliki pikiran sendiri.

Baca Juga: Grup Band Nemo Rilis Single dan Video Klip “Women” soal Keunikan Perempuan

Oleh karena itu, tidak ada percikan orisinalitas dan kreativitas yang dimiliki oleh manusia. Bahkan secara teknis, lagu-lagu yang dibuat oleh AI tetaplah buatan manusia, karena manusia yang membuat programnya.

Kembali ke definisi kecerdasan buatan pada paragraf ketiga, dinyatakan oleh OED bahwa AI adalah mesin yang menstimulasi perilaku cerdas. Hal ini mengisyaratkan bahwa AI adalah sebuah instrumen dari pikiran manusia, yang membantu dalam penciptaan musik, seperti halnya alat musik. Musik dari gitar akustik dihasilkan dengan menyentuh senar dengan jari, seperti halnya musik buatan yang dihasilkan ketika jari menyentuh keyboard komputer.

Lalu bagaimana jika instrumen yang kita sebut AI ini memiliki pikirannya sendiri? Kemungkinan besar jika itu terjadi, akan ada pengurangan posisi pekerjaan yang saat ini ditempati oleh para pencipta lagu manusia. Perusahaan-perusahaan—alih-alih mempekerjakan orang—akan membeli program dan membuat musik sendiri, dan faktanya hal tersebut sudah terjadi.

Baca Juga: Belajar Instrumen di Dua Tempat, Efektif atau Menghambat?

AI yang disebut Aiva baru-baru ini telah menjadi AI pertama yang mendapatkan status sebagai komposer di seluruh dunia. Musik yang dibuat oleh program ini sudah digunakan sebagai soundtrack di film, game, dan iklan (Kaleagasi, 2017). Fenomena tersebut sudah cukup bisa menggambarkan potensi ancaman bagi para pencipta musik manusia. Penggunaan AI memang menghemat banyak uang dan waktu bagi perusahaan, tetapi berpotensi sangat buruk disisi lain.

Seolah-olah orang-orang yang membangun AI ingin menciptakan pikiran sadar untuk menggantikan pikiran manusia dan tenaga kerja manusia. Tapi mungkinkah AI dapat menggeser peran pencipta musik manusia? Lebih jauh bisakah AI menghasilkan musik dengan pengalaman unik dan pemikiran tak terduga yang dimiliki manusia?

Ada beberapa lagu yang secara harfiah mengubah dunia, seperti Imagine oleh John Lennon atau Smells Like Teen Spirit dari Kurt Cobain yang tentunya akan sulit dibayangkan jika lagu-lagu tersebut dibuat secara otomatis oleh program AI.

Baca Juga: Alat Sortir Jambu Biji Canggih Karya Mahasiswa UNY

Kekuatan lagu-lagu ini akan dirasakan secara berbeda. Seperti waktu yang digunakan untuk pekerjaan manusia dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan AI untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut sangat berbeda.

Komposer musik klasik saat ini membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk membuat sebuah karya musik yang sudah jadi, sementara AI hanya membutuhkan beberapa menit untuk menyelesaikan pekerjaan yang sama. Penulis manusia mencurahkan darah dan air mata ke dalam tulisan mereka dan mungkin itulah yang membuat kita emosional saat membaca karya-karya tersebut, sementara AI tidak demikian.

Program AI memang dapat menghasilkan sebuah lagu yang tampaknya sama dalam hitungan menit, namun kecepatannya mengurangi pengalaman estetis itu sendiri. Orang-orang akan berargumen bahwa sebuah karya musik seharusnya kaya akan pengalaman estetis manusia, jika tidak, maka untuk apa?

Baca Juga: Keren, Penampakan Robot Transformers Karya Pemuda Asal Bantul Yogyakarta

Kesimpulannya, jika teknologi di masa depan dapat sepenuhnya menggantikan komposer manusia, maka akan menimbulkan masalah besar. Lebih banyak orang akan menjadi pengangguran. Bahkan jika AI tidak akan menggantikan komposer manusia sepenuhnya, AI akan memiliki efek yang sangat besar pada masa depan industri musik, seperti yang sudah terjadi sekarang.

Banyak komposer manusia yang harus belajar cara bekerja dengan AI dan menggabungkan keterampilan mereka dengannya atau beralih ke bidang pekerjaan lain.

Parahnya kita bisa kehilangan kontak dengan rasa kemanusiaan yang ada di dalam penciptaan karya seni. Mungkin lagu-lagu yang digubah oleh manusia pada akhirnya akan menjadi langka dan media arus utama hanya akan berisi lagu-lagu yang dihasilkan oleh AI. Lagu-lagu manusia akan bernasib sama seperti lukisan, menjadi jauh lebih berharga daripada sekarang.

Orang-orang akan mulai menghargai kreativitas manusia dan bersedia membayar lebih untuk merasakannya. Salah satu alasan kita menyukai seni adalah karena seni itu menyentuh secara emosional, lebih jauh mempengaruhi jiwa. Tetapi jika seni itu diciptakan oleh AI, maka efeknya tidak akan sama.

*) Mahasiswa Jurusan Seni Musik ISI Yogyakarta

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *