Senja Ramadan dan Pedagang Takjil yang Menanti Berkah

  • Whatsapp
takjil ramadan
Ilustrasi lapak takjil ramadan (Istimewa)

BacaJogja – Langit sore perlahan beranjak jingga, menandakan waktu berbuka semakin dekat. Di sepanjang jalan, di daerah Pleret, Bantul, Yogyakarta, deretan lapak pedagang takjil meramaikan suasana Ramadan. Hiruk-pikuk suara pembeli, pedagang yang menawarkan dagangan, dan aroma manis kolak bercampur dengan harumnya gorengan yang baru diangkat dari penggorengan.

Orang-orang datang berbondong-bondong, berburu takjil favorit mereka sambil ngabuburit. Ada yang rela mengantre demi es buah segar, ada yang sabar menunggu giliran membeli gorengan renyah, sementara beberapa memilih jajanan khas seperti kue lupis dan cendol dawet. Senyum para pedagang yang dagangannya laris menambah semarak suasana.

Read More

Baca Juga: Event Maret Meriah di Jogja: Agenda Acara Penuh Warna Selama Ramadan 2025

Namun, di sudut jalan, seorang perempuan berusia sekitar lima puluhan duduk diam di belakang lapaknya. Ia menjual dawet dan kolak pisang, dua menu berbuka yang selalu dicari saat Ramadan. Namun, tak seperti pedagang lainnya, lapaknya tampak sepi. Beberapa orang sekilas melirik dagangannya, tapi tak ada yang mampir.

Wajahnya tampak lesu, tatapannya mengawasi keramaian tanpa banyak bicara. Sesekali, ia membetulkan letak gelas plastik yang sudah diisi dawet, atau mengaduk panci kolaknya yang masih mengepul hangat. Tapi tak ada satu pun pembeli yang mendekat.

Saya berhenti di depannya. Bukan karena tertarik pada dawet atau kolaknya—sejujurnya, saya lebih ingin es campur yang antreannya mengular di seberang sana. Tapi melihatnya duduk tanpa pelanggan, hati saya tergerak.
“Satu dawet dan satu kolaknya, Bu,” ujar saya.

Baca Juga: Alphard Misterius Terparkir Lama di Masjid Al Ghozali Yogyakarta, Pemilik Dicari!

Mata perempuan itu berbinar. Seketika, wajahnya yang tadi muram berubah sumringah. Senyumnya mengembang, begitu tulus hingga saya ikut merasa hangat.

“Alhamdulillah, Mas pembeli pertama saya hari ini,” katanya, suaranya penuh syukur. Tangannya cekatan menyendokkan dawet ke dalam gelas plastik, lalu menuangkan santan dan gula merah cair. Saya bisa melihat betapa senangnya ia akhirnya melayani seseorang.

Saya tersenyum. Tidak menyangka bahwa keputusan sederhana ini bisa membuat seseorang begitu bahagia.
Setelah menerima takjil dan membayar, saya melangkah pergi dengan perasaan ringan. Mungkin bagi saya ini hanya sekadar membeli takjil tanpa antre, tapi bagi ibu itu, semoga ini menjadi awal rezeki yang berkah di bulan suci. []

Related posts