Kisah di Balik Kursi 13A: Saat Empati Tergilas Ego di Dalam Kereta Api

  • Whatsapp
penumpang kereta
Ilustrasi penumpang kereta (Istimewa)

BacaJogja – Seorang penumpang kereta Sri Tanjung membagikan kisah tidak menyenangkan yang dialaminya dalam perjalanan Kertosono–Lempuyangan, Kamis, 10 April 2025. Cerita ini menjadi pengingat pentingnya etika dan empati dalam ruang publik.

Seorang penumpang kereta api Sri Tanjung membagikan pengalaman tidak mengenakkan yang ia alami saat menempuh perjalanan dari Stasiun Kertosono menuju Stasiun Lempuyangan. Kisah ini menggambarkan bagaimana kurangnya empati dan etika di ruang publik dapat membuat perjalanan yang seharusnya nyaman menjadi penuh tekanan.

Read More

Kejadian bermula saat penumpang tersebut memasuki gerbong dan hendak menempati kursinya, yaitu 13A. Namun, kursi tersebut telah diduduki oleh seorang anak laki-laki yang merupakan bagian dari sebuah keluarga yang duduk di kursi sekitar.

Baca Juga: Tragedi Pagi di Kulon Progo: Cinta Sehidup Semati yang Terhenti di Jalan Dekso Kalibawang

Ketika penumpang ini meminta izin secara sopan untuk menempati kursi yang sudah ia pesan, permintaannya justru disambut dengan tatapan sinis dan ucapan yang merendahkan.

“Saya hanya ingin duduk sesuai tiket saya. Apalagi, saya baru menjalani biopsi dan jahitan saya belum kering, jadi saya butuh tempat yang tidak terlalu terpapar lalu-lalang,” ujar penumpang tersebut saat menceritakan kronologinya.

Namun, alasan tersebut tak digubris. Ia justru mendapatkan respons kasar dari ibu anak tersebut yang menyarankan dengan nada tinggi agar penumpang “naik mobil saja” jika tidak ingin tersenggol.

Masalah tak berhenti di situ. Ketika mencoba menyelipkan koper di bagasi atas yang sudah penuh, penumpang ini kembali mendapat intimidasi dari seorang pria — anggota keluarga yang sama. Pria tersebut datang sambil membentak karena koper keluarganya dipindahkan sedikit untuk memberi ruang.

Baca Juga: Suara Abadi Titiek Puspa: Ketika “Kupu-Kupu Malam” Terbang ke Keabadian

“Padahal saya sudah susun koper dengan hati-hati. Saya hanya mencoba agar semua barang bisa masuk tanpa menghalangi lorong,” jelasnya.

Pria tersebut tetap ngotot bahwa seluruh kursi di deretan itu adalah milik keluarganya karena ia “membeli enam tiket”, bahkan mengancam akan membawa masalah ini ke pihak berwajib. Namun, setelah kondektur dipanggil dan dilakukan pemeriksaan, terbukti keluarga tersebut hanya membeli empat tiket. Dua kursi lainnya diduduki secara sepihak tanpa hak.

“Saya bersyukur kondektur dan pramugari sigap merespons. Kalau tidak, saya mungkin akan terus diintimidasi sampai akhir perjalanan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa setelah diperiksa, posisi duduk yang sah untuk pria tersebut dan anaknya adalah kursi 15B dan 15C — bukan 13A. Sebelumnya, dua penumpang perempuan lain bahkan mengaku dipaksa tukar tempat duduk oleh pria tersebut.

Baca Juga: Titik Nol KM Yogyakarta: Jantung Kota yang Tak Pernah Tidur

Kondektur pun menegur keluarga itu agar tidak mengulang tindakan serupa di kemudian hari. Meski masalah akhirnya dapat diselesaikan, penumpang ini mengaku tetap merasa tertekan secara emosional sepanjang perjalanan.

Ia juga sempat ragu apakah dirinya yang terlalu kaku atau tidak fleksibel, setelah mendapatkan respons yang kurang empatik dari orang-orang terdekat ketika ia menceritakan kejadian ini.

“Kalau memang ingin tukar tempat duduk, saya terbuka. Tapi ini bukan soal tukar kursi — saya malah disuruh pindah tanpa solusi, tanpa alasan, bahkan tanpa tiket. Saya hanya ingin duduk sesuai hak saya,” jelasnya.

Pengalaman ini menjadi pengingat penting bahwa ruang publik menuntut kita untuk menjaga etika, empati, dan menghargai hak orang lain. Di tengah ramainya lalu lintas transportasi, hal-hal kecil seperti menghormati nomor kursi bisa berarti besar bagi kenyamanan dan keselamatan bersama.

Penumpang tersebut juga mengucapkan terima kasih kepada petugas KAI yang telah membantu dan memastikan ia sampai tujuan dengan lebih tenang. []

Related posts