Lampah Ratri Mubeng Beteng: Tirakat Sunyi Keliling Benteng Keraton Yogyakarta

  • Whatsapp
Mubeng Beteng menjadi bentuk tirakat masyarakat Jawa untuk menyambut Tahun Baru Jawa dan Hijriah secara khidmat dan jauh dari hingar bingar. (Pemda DIY)

BacaJogja – Setiap malam 1 Suro, ribuan warga Yogyakarta berduyun-duyun mengelilingi benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam keheningan. Prosesi ini dikenal dengan nama Mubeng Beteng, sebuah tradisi sakral yang bukan hanya ritual budaya, tetapi juga simbol spiritualitas, refleksi diri, dan perenungan atas perjalanan hidup selama setahun terakhir.

Mubeng Beteng menjadi bentuk tirakat masyarakat Jawa untuk menyambut Tahun Baru Jawa dan Hijriah secara khidmat dan jauh dari hingar bingar.

Read More

Warisan Budaya Tak Benda dengan Akar Panjang Sejarah

Tradisi Mubeng Beteng telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sejak tahun 2015 dengan nomor sertifikat 85162/MPK.E/D0/2015. Masuk dalam kategori “Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan,” tradisi ini dijaga dan dilaksanakan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat bersama komunitas abdi dalem, dipimpin oleh tokoh budaya seperti KMT Projosuwasono dan Purwadmadi.

Baca Juga: Yang Tersisa dari Api: Pakaian di Jemuran dan Harapan yang Tak Luruh

Menariknya, sejarah Mubeng Beteng sudah ada sejak abad ke-6 pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Kala itu, prosesi ini merupakan bagian dari upacara kenegaraan Keraton, yang hanya dilaksanakan atas perintah raja oleh para abdi dalem. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai dibuka untuk masyarakat umum, dengan tetap menjaga tata cara dan nilai-nilai spiritual yang menyertainya.

Terinspirasi Hijrah Nabi, Dijalani dalam Sunyi dan Keprihatinan

Tradisi ini terinspirasi dari perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah—perjalanan yang penuh keprihatinan dan pengorbanan, menempuh padang pasir tanpa alas kaki. Semangat inilah yang diadaptasi dalam lampah ratri—tirakat malam hari yang dilakukan dengan berjalan kaki tanpa alas kaki, tanpa berbicara (tapa bisu), dan penuh laku prihatin.

Dalam praktiknya, peserta dilarang makan, minum, dan merokok selama prosesi berlangsung. Tujuannya bukan hanya fisik, tetapi sebagai bentuk introspeksi dan pemurnian batin. Jarak tempuh prosesi sekitar 4,5 kilometer, mengelilingi benteng keraton dengan arah berlawanan jarum jam.

Baca Juga: Porda XVII DIY 2025 Digelar di Gunungkidul: 46 Cabor, 4.000 Atlet, dan Nuansa Budaya Lokal

Tata Cara Sakral Mubeng Beteng

Prosesi Mubeng Beteng diawali dengan pembacaan tembang Jawa Dhandhanggula, yang menggambarkan harapan akan kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru. Kemudian, dibacakan doa akhir tahun, doa awal tahun, serta doa khusus bulan Suro. Selanjutnya, prosesi dilepas dengan bunyi lonceng sebanyak 12 kali, sebagai penanda dimulainya perjalanan spiritual malam itu.

Mereka yang ingin ikut serta dalam tradisi ini wajib mematuhi aturan: berjalan tertib di belakang barisan abdi dalem, tidak berbicara, tidak mengenakan alas kaki, dan menjaga ketertiban serta kekhusyukan. Tradisi ini menciptakan suasana hening dan keramat, sangat kontras dengan perayaan tahun baru Masehi yang cenderung meriah dan hingar-bingar.

Warisan Budaya yang Harus Dilestarikan

Mubeng Beteng bukan sekadar ritual jalan kaki mengelilingi benteng. Ia adalah ekspresi dari nilai-nilai Jawa: introspeksi, tirakat, kesederhanaan, dan koneksi spiritual kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi ini mencerminkan keistimewaan budaya Yogyakarta yang patut dirawat dan dilestarikan oleh generasi muda.

Baca Juga: Es Puter Balik di Kotabaru Jogja: 26 Rasa Unik Tanpa Pengawet, Segar dan Kekinian!

Melalui pemahaman dan keterlibatan langsung, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga mewariskan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Mubeng Beteng adalah cermin dari kekayaan spiritualitas dan budaya bangsa yang tidak lekang oleh zaman. ]]

Related posts