BacaJogja – Pelaku dan pemerhati industri tembakau mendesak kesepahaman bersama sebagai solusi kebijakan tembakau Indonesia. Hal ini sebagai respons dalam menanggapi poin revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 yang diusulkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) 25/2022 pada Desember lalu.
Penolakan Revisi PP 109/2012 ini mengemuka dalam diskusi yang digelar Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Daerah Istimewa Yogyakarta (PD FSP RTMM-SPSI DIY) di Yogyakarta, Kamis, 19 Jaanuari 2022.
Dialog bertema “Upaya Membangun Kesepahaman Bersama Tentang Kebijakan Pertembakauan Indonesia” yang mengundang pelaku industri tembakau, aliansi masyarakat, konsumen, dan akademisi. Mereka yang hadir dalam acara RTMM DIY dan pusat ini antara lain perwakilan Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Pakta Konsumen, akademisi dari Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
Baca Juga: Pesta Rakyat Gempur Rokok Ilegal Gandeng Pelaku UMKM di Klaten
Selain itu, sejumlah pengamat kebijakan menyepakati bahwa revisi PP 109/2012 bukan solusi yang tepat dalam menangani permasalahan pertembakauan di Indonesia. Kesepakatan demikian terbentuk berdasarkan peninjauan dampak usulan revisi PP 109/2012 dan solusi secara komprehensif.
Ketua Umum Pakta Konsumen, Ari Fatanen menggarisbawahi keengganan pemerintah untuk merangkul 69,1 juta konsumen rokok di Indonesia dalam perumusan dan penegakan kebijakan tembakau. “Konsumen ini seperti anak tiri. Menyumbang cukai, infrastruktur, pembangunan, tapi hak partisipatif secara konstitusional saat ini belum diberikan,” katanya.
Menurut dia, substansi PP 109/2012 dipandang sudah cukup untuk mengatasi permasalahan prevalensi rokok, hanya masih lemah dalam praktiknya. Revisi PP 109/2012 tidak akan mengubah apapun apabila pemerintah tidak memberikan hak partisipasi bagi konsumen dalam kebijakan dan mendorong keterlibatan konsumen dalam gerakan penyuluhan rokok bersama bagi non-perokok, termasuk anak di bawah umur.
Baca Juga: Sri Sultan Panen Perdana Tembakau di Bantul, Siap Jadi Cerutu Tarumartani
Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wibisono, menyepakati pendapat tersebut dengan menunjukkan ketidaksesuaian data pemerintah dengan kondisi riil perokok saat ini. Terlepas dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan penurunan angka perokok dalam 5 tahun terakhir, pemerintah tetap merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebagai dasar dari usulan revisi PP 109/2012 dalam Keppres 25/2022.
Di samping itu, alasan yang dipilih pemerintah dalam mendorong revisi tidak konsisten dan tidak didasarkan pada hasil evaluasi. Sikap pemerintah lantas dianggap diskriminatif dan membunuh ekosistem tembakau dengan merugikan sekitar 2 juta petani tembakau, 2 juta peritel, 1,5 petani cengkeh, 600 ribu karyawan, dan negara sendiri.
Ketua Persatuan PPRK, Agus Sarjono, menyampaikan dampak dari kurangnya evaluasi PP 109/2012 terhadap perusahaan rokok. Perusahaan rokok hampir selalu berhasil dalam mencapai target pendapatan pemerintah dan mematuhi aturan, termasuk PP 109/2012. Akan tetapi, pemerintah justru mengesampingkan hal ini dan gagal menangkap celah pemberlakuanaturan yang lebih mendesak.
Baca Juga: Perokok Sumbang Negara Rp800 per Batang, Mengapa Didiskriminasi?
“Jumlah rokok SKT dan SKM sudah diatur perbungkusnya, jadi kita tidak mungkin mengakali. Kalau (pemerintah) akan mengatur tentang pendapatan negara itu masuk akal. Tapi kalau (pemerintah) mau lebih kreatif, (pemerintah seharusnya memikirkan) bagaimana memasifkan penanggulangan rokok ilegal karena ada dana DBHCHT,” usul Agus.
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, mewakili pekerja berpendapat bahwa revisi PP 109/2012 menempatkan buruh rokok sebagai korban dan tidak akomodatif terhadap kelompok tembakau. Tidak hanya dari pemerintah yang condong terhadap isu kesehatan, tekanan peraturan juga didapatkan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengancam keberlanjutan sawah ladang pekerja.
Baca Juga: Rokok Ilegal dan Tiruan Marak Beredar di Kota Yogyakarta
“Orang-orang kecil menjadi termarjinalkan dalam regulasi ini, terpinggirkan. UUD 1945 saja menyatakan hak untuk mendapatkan penghidupan dan penghasilan yang layak. Jika begitu, orang kecil sudah menjadi korban. Masa tidak jadi pertimbangan (pemerintah sebelum mengusulkan PP 109/2012)?” ucap Sudarto.
Dosen Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, Arif Kurniar Rahman, menyampaikan permasalahan terbesar dari peraturan tembakau saat ini adalah pemisahan konteks legal hukum dalam proses penyusunan regulasi dengan aspek sosio-kultural di masyarakat. Pemerintah terlalu berkutat pada pola pikir kesehatan tanpa membayangkan relasinya dengan sektor lain, seperti kesejahteraan.
“Kita perlu melakukan advokasi politik untuk (menciptakan) daya tawar (tembakau) sebagai isu perkebunan (seperti sawit). Yang tidak kalah penting, diskusi intelektual perlu juga didorong. Media juga jangan sektoral, tapi sifatnya kolaboratif”, usul Arif.
Baca Juga: Penyaluran BLT Pekerja Rokok di Yogyakarta Hanya Terserap 40 Persen
Peneliti sekaligus pemerhati kebijakan, Agustinus Moruk Taek juga menyampaikan hasil telaah kebijakan dari PP 109/2012 berdasarkan analisis teks kebijakan, konteks politik, dan kontekstualisasi peraturan. Hasil telaah ini menunjukkan tidak adanya urgensi untuk melakukan revisi PP 109/2012 karena lemahnya data dan justifikasi revisi PP 109/2012 yang parsial atau sepihak.
Di samping itu, terdapat indikasi kegagalan implementasi peraturan daerah turunan PP 109/2012 yang disusun tanpa analisis kebutuhan masyarakat lokal, serta masih lemahnya sosialisasi dan pengawasan terhadap publik. “Revisi bukan solusi. Yang dibutuhkan sekarang adalah sosialisasi dan penegakannya. Pemerintah harus serius dalam merumuskan kebijakan yang tepat, tidak hanya copy-paste,” tegas Agustinus. []