BacaJogja – Andi Kartala selaku Ketua Pakta Konsumen menyatakan, konsumen penikmat rokok atau perokok ternyata memberikan kontribusi bagi negara yang besar. Perokok setiap menghabiskan satu batang ternyata menyumbang pemasukan negara sebesar Rp800 dalam bentuk pajak dan cukai.
Cukai yang masuk APBN total Rp180 triliun. Angka yang sangat besar. Begitu harga rokok naik akibat kenaikan cukai, peredaran rokok ilegal juga naik menghilangkan pendapatan negara Rp53 triliun.
Baca Juga: Rokok Ilegal dan Tiruan Marak Beredar di Kota Yogyakarta
Sebagai gambaran, Indonesia merupakan negara nomor tiga di dunia dengan jumlah perokok terbanyak, sekitar 69,1 juta orang. Artinya, industri rokok prospeksnya sangat bagus.
Tercatat produksi rokok di Indonesia pada tahun 2020 sejumlah 320,8 miliar batang. “Per batang rokok itu Rp800 untuk pemasukan negara dalam bentuk pajak dan cukai. Angka yang sangat besar, lalu mengapa perokok masih didiskriminasi,” ungkapnya dalam diskusi kritis media di Puri Mataram Sleman, Senin, 8 Agustus 2022.
Baca Juga: Ingat, Berkendara Sambil Merokok atau Ngobrol Didenda Rp750.000
Dia menggarisbawahi cukai masuk APBN yang begitu besar ini namun dalam penyusunan regulasi faktnya perokok didiskriminasi. Bahkan, perokok diposisikan sebagai orang nomor dua.
Andi mengungkapkan, pada dasarnya konsumen bersedia diatur tetapi aturannya harus imbang dan berkeadilan. Konsumen punya hak ikut menyusun regulasi seperti dalam penyusunan peraturan daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). “Sebisa mungkin libatkan kami terkait dengan regulasi rokok,” jelasnya.
Baca Juga: Penyaluran BLT Pekerja Rokok di Yogyakarta Hanya Terserap 40 Persen
Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (PD FSP RTMM) DIY Waljid Budi Lestarianto mengatakan, kenaikan cukai membuat industri menurunkan jumlah produksinya. Dampaknya dirasakan langsung petani dan buruh pekerja pabrik rokok. “Selama sepuluh tahun di DIY terdapat 4.000 karyawan pabrik rokok kehilangan pekerjaan,” ungkapnya.
Masalah lain, keberadaan Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok) yang ternyata tidak hanya membuat resah tetapi juga membatasi gerak industri rokok, salah satunay tidak bisa beriklan. Dampaknya terjadi pada sektor produksi. Pada kurun waktu 2012 terdapat 1.540 pabrik rokok dan pada tahun 2020 tinggal 487 pabrik. “Sebanyak 210.600 orang kehilangan pekerjaan. Siapa peduli? Bagaimana tanggung jawab pemerintah?“ ujarnya bertanya.
Baca Juga: Kritik dalam Bentuk Lukisan dari Petani Tembakau untuk Presiden Jokowi
Andri Lesmono yang pernah bekerja pada pabrik rokok terkenal di Jawa Timur kurun waktu 2002-2009 menyatakan, Perda KTR merupakan amanat dari UU Kesehatan dengan turunannya berupa PP Nomor 109 Tahun 2012. “Seharusnya PP 109 Tahun 2012 cantolannya bukan pada UU Kesehatan,” katanya.
Dia mengatakan, Selama PP tersebut tetap berpedoman pada UU Kesehatan maka akan terjadi terus kondisi seperti sekarang ini. “Jika ada rencana judicial review, cantolan bukan pada UU, tetapi bisa memakai UU tentang Industri,” ujarnya. []