Kejahatan Menjelang Subuh: Ketika Sunyi Menyimpan Luka dan Trauma di Bantul

  • Whatsapp
lawan pelecehan
Ilustrasi pelecehan (Bacjogja)

BacaJogja – Subuh belum sepenuhnya menjelang, langit masih menggenggam sisa gelap malam. Di sebuah jalur sepi antara Sindet dan Panti Hafara Pleret, Bantul, Yogyakarta, langkah seorang perempuan menembus udara dingin, menuju pengabdian yang ia jalani saban hari.

Ia adalah seorang akun kurniadsgn yang membagikan kejadian buruk yang dialaminya, diunggah di media sosial merapinews. Ia bukan siapa-siapa, hanya satu dari banyak perempuan yang memulai hari lebih awal demi tanggung jawab dan secercah pengharapan.

Read More

Namun pada Minggu, 8 Juni 2025, pukul 04.15 WIB, perjalanan sunyinya berubah menjadi mimpi buruk yang tak akan ia lupakan. Di tengah kabut dini hari dan jalanan remang, seorang lelaki dengan hoodie abu-abu dan sepeda motor Beat menyergap ketenangannya. Bukan untuk menyapa atau bertanya arah, tapi untuk melecehkan—secara fisik dan psikologis—seorang perempuan yang hanya ingin bekerja.

Sunyi yang Tak Memberi Perlindungan

Jalur menuju Panti Hafara itu bukan rute asing baginya. Ia telah melaluinya berkali-kali. Tapi malam itu, penerangan yang nyaris nihil, semak-semak yang tumbuh liar, dan jauhnya rumah warga menjadikan jalan itu jebakan yang sempurna bagi seorang predator.

Di dekat Goa Permoni—yang pagi harinya sering dilewati orang dengan tenang—ia diteriaki, diganggu, dan disergap oleh si pelaku. Korban sempat berteriak. Tapi di tengah sunyi yang menggema, tak ada yang mendengar. Tak ada yang datang. Dan waktu seperti melambat saat trauma itu merasuk ke dalam dirinya.

Ia lolos, dengan tubuh yang gemetar dan jiwa yang retak. Tidak dengan luka fisik, tapi luka batin yang mungkin akan menetap lama. Saat ini, ia masih dalam proses pemulihan. CCTV di area tersebut sedang diperiksa, namun jejak pelaku seperti larut dalam kabut dini hari.

Duka Seorang Pekerja, Alarm untuk Kita Semua

Korban adalah simbol dari banyak perempuan lain—mereka yang berangkat sebelum ayam jantan berkokok, demi menyusui keluarga dengan harapan. Mereka yang berjalan di bawah bintang ketika kota masih tidur, tanpa perlindungan, tanpa jaminan akan pulang dengan utuh.

Peristiwa ini bukan sekadar catatan kriminal. Ini adalah cermin bagi kita semua: bahwa masih ada celah gelap di tengah kehidupan kita yang terlihat normal. Bahwa di balik rutinitas pekerja yang mungkin kita anggap biasa, tersembunyi perjuangan dan ketakutan yang nyata.

Kita Butuh Lebih dari Sekadar Lampu Jalan

Apa yang dibutuhkan bukan hanya lampu penerangan atau kamera pengawas, tapi juga kesadaran kolektif bahwa keselamatan adalah hak setiap insan. Bahwa jalanan bukan milik pelaku kejahatan, melainkan milik mereka yang mengisi hari dengan kerja keras dan niat baik.

Bagi pelaku, barangkali ini hanyalah aksi sesaat yang ia anggap sepele. Tapi bagi korban, ini adalah babak kelam yang akan menghantui mimpi-mimpinya. Otak kriminal yang berselimut jaket dan motor, telah menorehkan luka yang lebih dalam dari apa pun.

Mari kita tidak membiarkan satu pun korban berjalan dalam gelap tanpa perlindungan. Sebab setiap langkah di bawah langit subuh harusnya disertai rasa aman, bukan rasa takut. Dan semoga, cerita ini bukan hanya berhenti sebagai kisah sedih, tapi menjadi pemantik perubahan: untuk penerangan yang lebih baik, jalur yang lebih aman, dan hati yang lebih peduli. []

Related posts