Surat Wasiat di Atas Jembatan Kretek Bantul: Malam yang Nyaris Menjadi Perpisahan

  • Whatsapp
surat wasiat
Pria dan surat wasiat yang ditulis. (Ist)

BacaJogja – Angin malam menyapu sunyi di atas Jembatan Kretek, Bantul, Minggu (8/6) pukul 23.30 WIB. Gelap yang biasanya hanya ditemani gemericik air dan dengung serangga mendadak disusupi rasa cemas dan duka yang menggantung di udara.

Di atas jembatan tua itu, terparkir sebuah sepeda motor biru dengan pelat nomor AB 3347 TT—diam, tanpa pemilik, namun menyisakan jejak yang menggetarkan hati: selembar surat yang diduga ditulis oleh seseorang yang ingin mengakhiri hidup.

Read More

Surat itu ditulis tangan, ringkas namun sarat dengan keputusasaan. Di atasnya tercantum nama: Oki Irawan Baskoro, warga Karangasem, Gempol, Depok, Sleman. Isinya seperti jeritan dalam diam—permintaan untuk memberi kabar kepada keluarganya dan memanggil tim SAR agar mengevakuasi jasadnya.

Di akhir surat, tercantum empat nomor handphone yang bisa dihubungi—sebagai jembatan terakhir penghubung antara dirinya dan dunia yang hendak ia tinggalkan.

Baca Juga: Menuruni Cahaya Surga: Menyelami Goa Cokro, Misteri Vertikal dari Perut Bumi Gunungkidul

“Saya sengaja lompat dari jembatan ini. Saya sudah tidak layak hidup,” tulisnya, seakan ingin melepaskan beban yang selama ini membenamkan dada.

Namun semesta belum menyerah. Laporan penemuan surat dan motor itu segera ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. AKP I Nengah Jeffry, Kasi Humas Polres Bantul, mengatakan bahwa olah TKP menunjukkan sejumlah kejanggalan.

Para pemancing di bawah jembatan mengaku tak mendengar suara apa pun yang menandakan seseorang terjun ke sungai. Bahkan, seorang saksi mata melihat pria serupa berjalan ke arah selatan setelah meninggalkan kendaraannya.

Esok paginya, sekitar pukul 10.00 WIB, pencarian itu menemukan ujungnya. Oki Irawan Baskoro ditemukan dalam keadaan selamat di sebuah warung soto. Tidak ada luka, tidak ada tubuh yang tenggelam—hanya seorang pria yang mungkin sedang dilanda badai di dalam kepalanya. Ia kini dalam pengawasan polisi, dan keluarga telah didatangkan untuk mendampingi proses pemeriksaan lebih lanjut.

Baca Juga: Sunyi yang Tak Lagi Ramah: Dua Perempuan, Dua Teror di Jalanan Bantul

Peristiwa ini pun cepat menyebar di media sosial. Banyak warganet yang bersyukur karena tragedi itu tidak benar-benar terjadi, namun banyak pula yang menyoroti pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental.

“Syukur Alhamdulillah, masih sadar tidak jadi bunuh diri. Bila ada masalah bisa di rembuk sama keluarga. Semoga sehat selalu dan dalam lindungan Allah,” tulis seorang pengguna.

Yang lain berkomentar:

“Orang yang merencanakan bunuh diri, walau belum terlaksana, sangat rentan. Mereka butuh pengawasan ekstra dan pendampingan.”

Malam itu, Jembatan Kretek menjadi saksi bisu dari sebuah pergulatan batin yang nyaris berujung tragis. Meski tak jadi terjun, bayangan tentang apa yang mungkin terjadi sudah cukup untuk membuat siapa pun merinding.

Tapi kisah ini bukan sekadar drama di balik secarik kertas dan kendaraan yang ditinggalkan. Ini adalah alarm keras bahwa di tengah keseharian yang tampak biasa, ada jiwa-jiwa yang diam-diam menjerit, meminta untuk diperhatikan.

Baca Juga: Perampokan Brutal di Alfamart Semanu Gunungkidul Terekam CCTV! Rp 25 Juta Raib

Surat yang nyaris menjadi perpisahan itu kini berubah makna: bukan akhir, tapi titik balik. Sebuah undangan bagi kita semua untuk lebih peka, lebih peduli, dan lebih siap hadir—untuk mereka yang tengah berjalan di tepian hidup.

Suara dari Surat: Lembaran yang Menggema di Dada Banyak Orang

Surat tulisan tangan Oki bukan sekadar rangkaian kata yang gugur di atas kertas lusuh. Ia adalah jeritan yang lolos dari bibir yang terlalu lelah untuk bersuara, sebuah permohonan terakhir dari seseorang yang merasa hidupnya tak lagi layak dipertahankan. Tapi alih-alih menjadi akhir, surat itu justru menjadi awal—dari perbincangan yang lebih besar, tentang luka yang tak tampak dan pentingnya ruang untuk berbagi beban.

Peristiwa ini viral. Dalam hitungan jam, foto sepeda motor yang terparkir di atas jembatan dan salinan surat yang ditinggalkan tersebar luas di media sosial. Di kolom komentar, warganet bereaksi dengan beragam rasa: terkejut, prihatin, dan tidak sedikit yang menyelipkan harapan agar Oki mendapatkan pendampingan yang layak.

“Niat sudah tercetus, kemungkinan terjadi harus diantisipasi oleh keluarga terdekatnya,” tulis seorang pengguna Facebook.

Baca Juga: Berebut Berkah di Tanah Mataram: Ketika Gunungan Menyatukan Raja dan Rakyat Jogja

Di balik komentar-komentar itu, tergambar kesadaran kolektif bahwa siapa pun bisa tenggelam dalam gelap jika tak ada yang menggandeng tangannya keluar. Terutama di zaman serba cepat ini, ketika tekanan hidup, ekspektasi sosial, dan kesendirian sering kali datang bersamaan—menghimpit pelan tapi pasti.

Ketika Dunia Nyaris Kehilangan, Tapi Masih Punya Kesempatan

Oki Irawan mungkin tak pernah mengira bahwa tindakannya akan menciptakan gelombang reaksi sedemikian rupa. Tapi justru karena ia masih ditemukan dalam keadaan hidup, ada peluang untuk mulai lagi dari awal. Untuk disembuhkan, dipulihkan, dipeluk. Dalam diamnya, surat itu telah menyingkap luka yang lebih luas—tentang minimnya kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental, dan tentang betapa tabunya membicarakan rasa sakit yang tidak berdarah.

Kini, ia berada dalam pendampingan pihak berwajib dan keluarga. Proses pemeriksaan masih berjalan, dan motif di balik aksinya masih ditelusuri. Namun satu hal yang pasti, ia tidak sendirian. Tidak lagi.

Baca Juga: Garebeg Besar 2025 di Yogyakarta: Gunungan, Nyadhong, dan Filosofi Kehidupan

Jembatan yang Menyimpan Kenangan

Jembatan Kretek kini menyimpan satu cerita baru. Bukan tentang kecelakaan lalu lintas atau sekadar lintasan para pemancing, tapi tentang malam yang nyaris menjadi saksi dari perpisahan tanpa pamit. Jembatan itu kini berdiri sebagai simbol: bahwa hidup, meski penuh luka, masih bisa disambung kembali.

Di balik kabar viral ini, ada pesan sunyi yang menggema: mari lebih peka terhadap mereka yang mulai kehilangan harapan. Dengarkan, temani, dan jangan ragu bertanya “kamu baik-baik saja?”—karena kadang, satu kalimat sederhana bisa menyelamatkan satu nyawa.

Dan bagi mereka yang pernah berdiri di ambang seperti Oki, semoga tahu: tak ada yang benar-benar sendiri. Dan tak ada yang terlalu rusak untuk diperbaiki. []

Related posts