Pro Kontra Moshpit dalam Konser Musik, Budaya atau Bahaya?

  • Whatsapp
mosphit
Moshpit atau aksi moshing (Foto: Anna Nietzsche)

BacaJogja – Moshpit atau aksi moshing, menjadi fenomena khas di konser musik-musik ekstrem. Aksi ini memang sudah menjadi aksi yang tak asing lagi dalam suatu gelaran konser musik. Kegiatan ini identik dilakukan pada saat sajian musik yang biasanya beraliran keras, cadas, dan metal.

Pada awalnya, moshing diartikan sebagai kegiatan menari atau mengekspresikan diri dengan mendorong-dorong dan membenturkan tubuh antar satu penonton dengan penonton yang lain dalam jumlah besar untuk menaikkan suasana dan energi panggung saat menyaksikan konser musik.

Read More

Umroh akhir tahun

Baca Juga: Harga dan Cara Beli Tiket Euforia Konser Denny Caknan di Yogyakarta

Bagi Sebagian orang penikmat konser musik metal dan aliran keras, moshing merupakan salah satu bentuk budaya dan memiliki nilai esensi tersendiri dalam menjalaninya. Namun bagi orang awam lainya moshing dianggap sebagai sebuah kegiatan yang hana membahayakan diri sendiri.

Dari sejarahnya sendiri moshing berakar dari tarian pogo dari musik punk, dam seiring waktu berkembang menjadi hardcore slam dengan Gerakan yang lebih intens dari sebelumnya.

Baca Juga: Keraton Yogyakarta Konser Hari Pahlawan Nasional 2022, Tiket Cuma Rp8.000

Mengapa moshing dianggap berbahaya? Moshing dianggap berbahaya karena adanya risiko terluka ringan, berat bahkan hingga adanya kasus meninggal karena kegiatan moshing.

Walaupun adanya aturan terkait moshing, namun tak sedikit juga band yang melarang moshing di antaranya Smashing Pumpkins, Pearl Jam, Dream Theater. Mereka semua menyatakan “against moshing”.

Baca Juga: Konser Musik dan Kirab Gunungan 22 Desa Wisata di Pantai Glagah Kulon Progo

Salah satu kasus kericuhan yang terjadi akibat moshing di Indonesia adalah tragedy AACC tahun 2008. Dimana terdapat 11 orang meninggal, puluhan orang luka luka dan terjadi kericuhan massal.

Menurut data dari crowdsafe, sebanyak 20.000 kasus luka-luka terjadi karena moshing, dari rentang tahun 1994-2014 saja terdapat 33 kasus kematian, dan sebannyak 42% dari kematian tersebut terjadi karena kerusuhan penonton, 18% kasus kematian laina terjadi karena stage diving.

Baca Juga: Hoobastank Batal Tampil di JogjaROCKarta 2022, Artis Pengganti Siapa?

Polemik masyarakat tentang adanya moshpit dalam sajian konser ini masih ada hingga sekarang. Menurut Satria, 27 tahun, moshing itu membangun kedekatan antara performer sama penonton, kalo dari segi performer. “Kita dapat melihat moshing itu sebagai bentuk energi dari penonton yang bisa ngepush rasa percaya diri kita saat main. Kalau dari segi penonton, itu bentuk rasa penyampaian ekspresi dari pesan lagu yang di sajikan oleh performernya,” kataya.

Adapun pernyataan kontra moshing. Moshing adalah kegiatan berbahaya dan nggak bermanfaat bagi penonton, kalau kalian mau nikmatin konser musik kan ya ada cara lainya, nggak harus moshing dan segala macam. “Itu kan membahayakan diri sendiri dan orang lain, apalagi dalam massa besar kalau terjadi bisa menjadi bahaya,” kata Wahyu, 23 tahun.

Baca Juga: Update JogjaROCKarta 2022, Hoobastank Batal Gebrak Tebing Breksi Yogyakarta

Sedangkan menurut Theo, 22 tahun, seorang drummer band bergenre grindcore, “moshpit adalah salah satu ciri budaya yang harus tetap dilestarikan hingga sekarang. “Moshing bisa kok aman, keep it safe aja. Saling menghormati dan menjaga orang lain dalam moshpit, jadikan moshpit mu seperti lingkaran persaudaraan yang terkenang terus sampai kapan pun gitu.”

Dari berbagai sudut pandang, memang sudah sepantasnya moshing ini menjadi bahan refleksi ulang para penikmatnya. Apakah benar layak di teruskan apabila hanya bertujuan menghargai budaya dan bersenang-senang jika banyak nyawa manusia yang meregang akibat kegiatan ini, dan dapat menghargai keberadaan musik beraliran keras yang dapat dinikmati dengan baik oleh orang lain. []

Artikel ditulis oleh Stefanus Danu Aryosatyo, mahasiswa Jurusan Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta

Related posts