BacaJogja – Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia (MPUII) menggelar Konvensi Konstitusi perdana di Hotel University Club, Yogyakarta, pada Selasa, 15 Oktober 2024. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian konvensi yang akan diadakan di berbagai kota hingga akhir tahun, seperti di Malang/Surabaya, Medan, Makassar, Semarang, dan Jakarta.
Acara ini mengangkat tema “Pelaksanaan UUD 1945 Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959”. Konvensi ini bertujuan untuk mengembalikan pelaksanaan konstitusi Indonesia pada dasar-dasar awal yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa.
Baca Juga: Menyelami Humanisme Pangeran Diponegoro dalam Pameran Sastra Rupa #2 di Jogja Gallery
Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai pihak mengkritik amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada periode 1999–2002. Menurut para peserta, amandemen tersebut dianggap menjauhkan bangsa dari cita-cita kemerdekaan dan prinsip musyawarah yang semula menjadi dasar negara.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muhammad Chirzin, salah satu peserta konvensi, menekankan pentingnya kembali pada UUD 1945 yang asli untuk menghindari berbagai persoalan yang muncul setelah amandemen. “Perubahan konstitusi yang dilakukan selama era reformasi telah mengubah esensi kenegaraan kita, menjadikannya lebih liberal dan kapitalistis. Sistem yang seharusnya mengutamakan musyawarah kini justru cenderung individualistis, bahkan memicu ketidakstabilan di berbagai sektor,” ungkapnya.
Baca Juga: FUI DIY Serukan Lima Sikap Tegas untuk Palestina: dari Amanah Konstitusi hingga Boikot Produk Israel
Dekrit 5 Juli 1959: Solusi Konstitusional
Acara ini menghadirkan berbagai tokoh nasional dan akademisi sebagai pembicara, termasuk Prof. Sofian Effendi dari UGM yang membahas dampak pemberlakuan UUD 2002 terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, Prof. Dr. Kaelan juga mengemukakan pentingnya melaksanakan UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai kebutuhan konstitusional. Dekrit ini menjadi salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia, yang mengukuhkan kembali pelaksanaan UUD 1945 asli setelah krisis konstitusi di era demokrasi liberal.
Menurut Chirzin, “Kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959 bukan hanya soal hukum, tapi soal identitas dan arah perjuangan bangsa. Kita butuh konstitusi yang mencerminkan semangat gotong royong dan musyawarah, bukan konstitusi yang dipengaruhi oleh kepentingan global dan politik pragmatis.”
Baca Juga: Ribuan Warga di Titik Nol KM Jogja Peringati Satu Tahun Agresi Israel, Serukan Pembebasan Palestina
Langkah Strategis Menuju Perubahan
Salah satu agenda penting dalam konvensi ini adalah penyusunan langkah-langkah strategis untuk mengembalikan pelaksanaan UUD 1945 asli. Dalam sesi diskusi, para peserta bersepakat bahwa diperlukan tahapan praktis, termasuk memisahkan pasal-pasal amandemen yang dinilai bertentangan dengan konstitusi asli.
Deklarasi konvensi yang ditandatangani pada akhir acara menjadi simbol kesepakatan para peserta untuk memperjuangkan kembalinya pelaksanaan UUD 1945 yang sesuai dengan cita-cita proklamasi.
Konvensi yang akan terus berlangsung hingga 31 Desember 2024 di berbagai kota ini diharapkan menjadi titik awal dari gerakan besar untuk memperbaiki sistem kenegaraan Indonesia. Para peserta berharap semangat konvensi ini dapat menjadi inspirasi bagi seluruh elemen masyarakat untuk kembali pada dasar negara yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa.
Baca Juga: Kuliner Malam Yogyakarta: Gultik Bang Jago, Surga bagi Pecinta Gulai
“Kita butuh reformasi konstitusional yang mendalam, bukan sekadar perbaikan teknis. Ini tentang masa depan Indonesia yang lebih berdaulat dan adil,” pungkas Chirzin.
Dengan dihadirkannya tokoh-tokoh penting dalam konvensi ini, langkah-langkah menuju perubahan diharapkan dapat segera terwujud demi terciptanya Indonesia yang lebih sejahtera dan berkeadilan. []