Kontroversi Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Sejarawan UGM Beri Catatan Kritis

  • Whatsapp
Soeharto
Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto (Istimewa)

BacaJogja – Pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Presiden RI ke-2, Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto kembali mencuat dan memicu perdebatan publik. Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) telah mengajukan 10 nama tokoh untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional tahun ini—dan Soeharto termasuk di dalamnya.

Usulan ini langsung mengundang kontroversi. Banyak pihak menilai bahwa peran Soeharto dalam sejarah Indonesia penuh paradoks—di satu sisi berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, namun di sisi lain juga lekat dengan berbagai catatan kelam, seperti pelanggaran HAM dan represi terhadap kebebasan pers.

Read More

Baca Juga: Cara Cek Tilang Elektronik (ETLE) Online Lewat HP, Gampang dan Cepat!

Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Agus Suwignyo, M.A., memberikan pandangannya secara objektif. Menurutnya, secara formal Soeharto memang memenuhi sejumlah syarat untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional sebagaimana tercantum dalam Permensos No. 15 Tahun 2012.

“Kalau melihat kriteria dan persyaratan sebagai pahlawan nasional, nama Soeharto memang memenuhi kriteria tersebut. Namun tidak bisa juga mengabaikan fakta sejarah dan kontroversinya di tahun 1965,” ujar Agus saat diwawancara pada Kamis (17/4).

Agus menyebut, kontribusi Soeharto dalam perjuangan kemerdekaan sangat nyata. Ia berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil menguasai Yogyakarta dari tangan kolonial, serta menjabat sebagai Panglima Komando Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat pada 1962.

Baca Juga: Operasi Katarak Gratis di Sleman: Kuota Terbatas, Daftar Sekarang!

Namun Agus menekankan pentingnya penulisan sejarah yang kontekstual dan tidak hitam-putih. Ia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan pengkhususan gelar jika tetap ingin menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. “Misalnya dalam bidang tertentu atau periode tertentu. Pengakuan bisa dilakukan, tetapi tetap dengan catatan sejarah yang utuh,” jelasnya.

Bagi Agus, pendekatan ini juga bisa diterapkan untuk tokoh-tokoh lain yang memiliki kontribusi besar namun dibayangi kontroversi. Ia mencontohkan Syafruddin Prawiranegara, yang pernah memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), namun kemudian dicap pengkhianat karena terlibat dalam PRRI.

Baca Juga: Melawan Ombak dan Kabut: Kisah Dramatis Evakuasi Korban Laka Laut Parangtritis

“Banyak tokoh yang belum mendapat pengakuan, terutama dari bidang seni, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Sudah saatnya kita memperluas perspektif dalam menentukan siapa yang layak disebut sebagai pahlawan nasional,” pungkas Agus.

Dengan kembali munculnya nama Soeharto dalam daftar calon pahlawan nasional, perdebatan tentang cara bangsa ini menilai sejarah pun kembali mengemuka. Apakah bangsa ini siap memberi gelar tertinggi kepada tokoh yang perjalanannya penuh warna, atau justru akan memicu luka lama yang belum sepenuhnya sembuh? []

Related posts