BacaJogja – Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke permukaan, menyusul pernyataan Forum Purnawirawan TNI yang mengkritisi proses pencalonannya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Mereka menyebut keterpilihan Gibran sebagai hasil dari konsensus politik yang dipaksakan dan bertentangan dengan prinsip demokrasi serta keadilan elektoral.
Pernyataan ini memicu diskusi serius di kalangan masyarakat dan pakar hukum tata negara, termasuk Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A., dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menilai bahwa permintaan pemakzulan Gibran kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belum memiliki landasan hukum yang memadai.
“Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini satu proses hukum yang sedang digulirkan, bisa jadi hanya simbol politik yang mengarah pada sorotan media kepada Wakil Presiden Gibran,” ujar Yance, Jumat (2/5).
Baca Juga: Shafira Devi Herfesa, Pecatur Muda Yogyakarta Lolos ke Piala Dunia Catur 2025
Pemakzulan Harus Berlandaskan Konstitusi
Menurut Yance, pemakzulan seorang Wakil Presiden hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Pasal tersebut mencakup pelanggaran seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
“Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses di Pasal 7A, sampai hari ini belum ada cantolan hukum yang jelas untuk memberhentikan Gibran,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa MPR bukan lembaga pemrakarsa pemakzulan, melainkan lembaga yang mengesahkan keputusan akhir setelah proses panjang yang dimulai dari DPR. “Pintu masuknya itu ada di DPR. Kalau DPR menggunakan hak angket atau hak menyatakan pendapat dan ada temuan, barulah Mahkamah Konstitusi akan menilai,” jelas Yance.
Baca Juga: Revisi Rute dan Jam Operasional! Bus Listrik Gratis Jogja Kini Jangkau Lebih Banyak Titik Wisata
Dugaan Manipulasi Bisa Jadi Dasar Hukum
Salah satu poin yang dipersoalkan publik adalah soal usia Gibran yang belum 40 tahun saat pencalonan. Menurut Yance, hal ini bisa menjadi bagian dari perdebatan konstitusional, terutama jika terbukti terjadi manipulasi dalam proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) atau proses administratif di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kalau memang Gibran atau orang tuanya, mantan Presiden Jokowi, terlibat dalam manipulasi proses persidangan MK atau di KPU, itu bisa dijadikan dasar bahwa Gibran sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai calon Wakil Presiden,” ungkapnya.
Dalam konteks ini, Yance menyarankan agar jalur hukum tetap dikedepankan. Salah satunya melalui DPR yang bisa membentuk panitia angket atau melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait keabsahan pencalonan Gibran.
Baca Juga: Lonjakan Wisatawan Mancanegara di Yogyakarta dan Solo, Kereta Api Jadi Pilihan Favorit
“Jika memang terbukti, itu bisa jadi dasar impeachment karena menyangkut syarat konstitusional. Tapi tetap harus dibuktikan secara hukum, bukan sekadar tekanan politik,” tandasnya.
Proses Hukum, Bukan Hanya Opini Publik
Yance menegaskan bahwa opini publik atau tekanan politik tidak bisa menjadi dasar pemakzulan. Dalam sistem demokrasi konstitusional, semua tuduhan harus dibuktikan melalui mekanisme hukum yang sah.
“Wacana pemakzulan ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa fondasi hukum yang kuat. Kita harus membedakan antara dinamika politik dan proses hukum yang benar,” pungkasnya. []