BacaJogja – Isu Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok kembali menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk “Tenaga Kerja Asing (TKA) dan Hubungan Indonesia-China: Perkembangan Termutakhir” yang diselenggarakan oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bersama Forum Sinologi Indonesia pada Senin (5/5/2025). Diskusi ini tidak hanya membedah keberadaan TKA di Indonesia, tetapi juga membingkai dinamika geopolitik, investasi, dan posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
Ahmad Khoirul Umam, Managing Director PPPI, membuka diskusi dengan menyoroti meluasnya investasi Tiongkok di berbagai kawasan dunia, termasuk Indonesia. Ia menyebutkan bahwa Negeri Tirai Bambu telah menjadi kekuatan utama dalam industri nikel global—mempengaruhi konfigurasi tenaga kerja dan struktur ekonomi negara-negara berkembang. “Model investasi Tiongkok harus disikapi dengan strategi kebijakan yang matang agar tidak merugikan kepentingan nasional,” tegasnya.
Baca Juga: Deretan Hari Libur Nasional Mei-Juni 2025: Banyak Libur Panjang, Siap-siap Healing!
TKA, Investasi, dan Strategi Global
Dr. Muhammad Iksan dari Universitas Paramadina dan peneliti senior PPPI mengaitkan maraknya TKA Tiongkok dengan derasnya aliran investasi. Ia menyoroti dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, yang menjadikan negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai “arena perebutan kepentingan” alih-alih penerima manfaat utama. “Kita perlu mengubah orientasi dari sekadar mengekspor bahan mentah menjadi memproduksi barang bernilai tambah tinggi,” ujarnya.
Hal ini diamini oleh ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, yang menyoroti penurunan daya saing Indonesia. Dalam indeks pembaruan ekonomi global, peringkat Indonesia merosot dari posisi 53 ke 70. “Model investasi kita masih bersifat ekstraktif: gali, cuci, jual. Sementara negara lain sudah masuk ke fase hilirisasi dan manufaktur yang lebih canggih,” kritiknya.
Aspek Imigrasi: Antara Pengawasan dan Kedaulatan
Dari sisi regulasi dan pengawasan, Anggiat Napitupulu, Staf Ahli Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, menegaskan pentingnya imigrasi sebagai garda depan kedaulatan negara. “Imigrasi bukan sekadar urusan administratif. Ini adalah bentuk kontrol strategis negara,” ujarnya.
Baca Juga: Jogja Festivals Forum and Expo 2025 Dorong Diplomasi Budaya dan Ekonomi Kreatif Global
Ia menambahkan bahwa visa bukanlah jaminan mutlak untuk masuk ke Indonesia. “Visa adalah rekomendasi, bukan izin pasti,” jelasnya. Anggiat juga mengungkap bahwa dari ribuan pekerja asal Tiongkok yang terlibat di proyek strategis nasional, hanya sekitar 5.000 yang memiliki izin tinggal resmi. Sisanya diduga ilegal karena keterbatasan kapasitas pengawasan.
Ali Chaidar Zamani dari Kementerian Ketenagakerjaan menegaskan bahwa penyederhanaan prosedur izin kerja tetap dilakukan secara selektif. Dasar hukumnya mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 34 Tahun 2021. Ia menjelaskan bahwa alasan utama penggunaan TKA meliputi resiprositas, transfer teknologi, dan kebutuhan tenaga ahli yang belum tersedia secara lokal.
Baca Juga: Menantang Pakem, Merangkul Tradisi: Kisah Rizki Rahma dan Jalan Sunyi Dalang Perempuan Yogyakarta
Dimensi Sosial Migran Tiongkok
Johanes Herlijanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia, menyoroti perbedaan antara “migran lama” dan “migran baru” asal Tiongkok. Ia mengungkapkan bahwa sejak 2015, mulai muncul kritik dari masyarakat terhadap kehadiran TKA ilegal. “Mereka datang dan pergi tanpa proses legal lengkap. Ini menciptakan ketegangan sosial,” katanya. Meskipun demikian, sebagian masyarakat tetap menghargai etos kerja mereka.
Diskusi ini menegaskan bahwa isu TKA asal Tiongkok bukan hanya soal jumlah, tapi juga soal strategi nasional dalam menghadapi arus investasi asing, menjaga kedaulatan, dan memperkuat daya saing. Indonesia perlu kebijakan imigrasi yang tegas, sistem pengawasan yang kuat, dan keberanian untuk mengembangkan industri bernilai tambah tinggi agar tak sekadar menjadi “ladang mentah” dalam peta ekonomi global. []