BacaJogja – Langit mendung menyelimuti pagi itu, tapi semangat di jantung Kota Yogyakarta justru bersinar terang. Ribuan pasang mata tumpah ruah di sepanjang Jalan Solo hingga Embung Langensari, Minggu (8/6), menyaksikan satu per satu gunungan berjalan anggun dalam prosesi sakral: Kirab Gunungan Undhuh-undhuh 2025.
Bukan sekadar pawai budaya, kirab ini adalah perayaan rasa syukur kepada Sang Pencipta, sekaligus panggung megah untuk harmoni lintas iman. Sebanyak 20 gunungan, hasil kreativitas warga dari berbagai latar agama—Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, hingga Konghucu—berjalan berdampingan, menegaskan bahwa keberagaman adalah rahmat, bukan jurang pemisah.
Tepat pukul 09.00 WIB, kirab dimulai dari Kantor Kelurahan Klitren. Tujuh andong kehormatan membuka barisan, mengiringi ratusan peserta dari sekolah, komunitas, dan perguruan tinggi yang turut serta membawa aneka hasil bumi dan simbol-simbol spiritual di atas gunungan.
Baca Juga: Bantuan Subsidi Upah 2025 Resmi Dilanjutkan: Cek Status Penerima Bantuan Rp600 Ribu di Sini!
Suasana berubah haru saat kirab tiba di depan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman. Para seniman Yogyakarta mempersembahkan sendratari religius yang mengisahkan pertemuan simbolik Kyai dan Nyai Klitren—dua sosok spiritual yang merepresentasikan cinta, toleransi, dan persatuan dalam perbedaan. Gerakan-gerakan penuh makna dalam tarian itu membuat hadirin terdiam khidmat, hanyut dalam kisah yang melampaui sekat keyakinan.
Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, yang turut hadir, tak bisa menyembunyikan rasa bangganya. “Kirab ini menunjukkan bahwa kerukunan itu nyata dan bisa diwujudkan. Ini cara luhur kita bersyukur atas hasil kerja, melalui budaya dan kebersamaan,” ujar Hasto.
Ia menegaskan pentingnya warisan toleransi antarumat beragama bagi generasi mendatang. “Kita tidak boleh lelah mencintai perbedaan, karena di situlah kekuatan sejati kita sebagai bangsa.”
Baca Juga: Aksi Heroik Penyelamatan 4 Wisatawan Terseret Ombak Parangtritis
Langit sempat menumpahkan hujan deras sejenak, namun tidak satu pun peserta meninggalkan barisan. Hujan justru menjadi bagian dari prosesi, seakan alam turut memberkahi momen suci itu.
Dalam suasana tenang dan syahdu, enam tokoh agama memimpin pemberkatan gunungan. Doa-doa dari berbagai tradisi spiritual dinaikkan bersama ke langit Yogyakarta, menyatu dalam harapan yang sama: keberkahan, kedamaian, dan kehidupan yang berkelanjutan.
Ketua panitia, Joko Pamungkas, menegaskan bahwa kirab ini bukan sekadar ajang budaya tahunan. “Kirab Gunungan Undhuh-undhuh adalah ungkapan syukur atas rezeki dan berkat dari Tuhan. Tapi lebih dari itu, ini adalah simbol nyata bahwa Yogyakarta adalah kota toleransi. Kota yang menjunjung tinggi keberagaman dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk bersatu,” tegasnya.
Baca Juga: Bersatu dalam Cahaya Takbir: Harmoni Warungboto Yogyakarta di Bawah Langit Iduladha
Ia berharap acara ini tak hanya menjadi tontonan meriah, melainkan inspirasi untuk merawat kebhinekaan dalam kehidupan sehari-hari. “Semoga kirab ini terus berlanjut, menjadi warisan bersama yang menumbuhkan harapan dan semangat kebersamaan.”
Saat barisan gunungan akhirnya tiba di Embung Langensari—titik akhir kirab—langit kembali cerah. Seolah menjadi isyarat, bahwa dari mendung sekalipun, harapan akan selalu menemukan jalannya. []