Genduri, Seni Rakyat, dan Doa Leluhur: Mengintip Rasulan Gunungkidul yang Penuh Makna

  • Whatsapp
rasulan gunungkidul
Jathilan, seni rakyat, dalam acara Rasulan di Rongkop Gunungkidul (Ist)

BacaJogja – Suara titir kentongan menggema di Padukuhan Suruh, Kalurahan Karangwuni, Kapanewon Rongkop, Gunungkidul, ketika matahari mulai condong ke barat. Dentang ritmisnya bukan sekadar penanda waktu, tetapi undangan sakral bagi seluruh warga untuk berkumpul dalam sebuah tradisi tahunan yang sarat makna: Rasulan atau Bersih Desa.

Sore itu, jalan kampung yang berkelok dipenuhi pemandangan akrab namun menggetarkan. Satu per satu warga berjalan kaki membawa nampan berisi nasi tumpeng, lauk-pauk, jajanan pasar, hingga buah-buahan. Mereka tak hanya membawa sajian, tetapi juga membawa harapan dan rasa syukur yang dibungkus dalam semangat gotong royong.

Read More

Rumah Kepala Dukuh menjadi titik kumpul utama. Sebanyak 125 kepala keluarga dari Padukuhan Suruh hadir dengan sukacita. Makanan yang dibawa pun segera ditata rapi oleh para modin, pemuka adat sekaligus pemimpin doa. Suasana terasa khidmat, penuh canda hangat dan sapaan akrab antarwarga—lukisan utuh sebuah komunitas yang hidup dalam harmoni.

Baca Juga: Jejak Filosofi Sego Wiwit: Nasi Uduk Sakral dari Tradisi Panen Masyarakat Jawa

Rasulan tahun ini terasa lebih istimewa. Wakil Bupati Gunungkidul, Joko Parwoto, hadir langsung menyapa warga. Ia didampingi oleh tokoh masyarakat, Suwigno, anggota DPRD Gunungkidul dari Fraksi PKB. Prosesi doa yang dipimpin pemangku adat berlangsung khusyuk, menjadi simpul spiritual yang menyatukan generasi.

“Rasulan bukan hanya seremonial. Ini adalah cerminan kebersamaan, keikhlasan, dan rasa syukur yang menjadi identitas kita sebagai masyarakat Gunungkidul,” ujar Joko dalam sambutannya, Kamis petang, 12 Juni 2025.

Ia menegaskan, meskipun bentuknya menyesuaikan zaman, makna Rasulan tetap sama: wujud terima kasih kepada Sang Pencipta atas hasil panen dan kehidupan yang diberkahi. Joko pun menyampaikan kebanggaannya melihat semangat warga Padukuhan Suruh yang tetap menjaga adat warisan leluhur.

Usai prosesi genduri, rombongan Wakil Bupati melanjutkan kunjungan ke Padukuhan Karangwuni. Di padukuhan tetangga ini, genduri telah dilangsungkan lebih awal. Namun malam harinya, halaman balai padukuhan disulap menjadi panggung seni rakyat yang meriah dan menghibur.

Baca Juga: Teror di Halte Sudirman Bantul: Ketika Malam Sunyi Terganggu Ulah Tak Senonoh Si Ojek Online

Anak-anak tampil menari dengan lincah dan menggemaskan. Musik lokal mengalun, menggugah nostalgia dan tawa riang. Meski seluruh pertunjukan dilombakan, bukan kompetisi yang dikejar, tetapi semangat kebersamaan dan pelestarian budaya lokal yang dikedepankan.

Tua-muda berkumpul. Anak-anak berlarian, remaja merekam momen lewat gawai, orang tua tersenyum penuh haru. Rasulan bukan sekadar agenda tahunan, tetapi momen menyatukan rasa, menjaga warisan, dan menumbuhkan rasa bangga akan akar budaya sendiri.

“Tradisi seperti ini adalah kekayaan tak ternilai yang tidak semua wilayah memilikinya. Pemerintah tentu mendukung penuh agar tradisi ini tetap hidup dan berkembang,” tegas Joko Parwoto sebelum meninggalkan lokasi.

Rasulan di Padukuhan Suruh dan Karangwuni menjadi bukti bahwa di tengah gempuran budaya modern, nilai-nilai kearifan lokal masih kokoh dijaga. Tradisi ini tak hanya bertahan, tapi juga tumbuh, menjadi jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Dan selagi kentongan terus berdentang setiap tahun, gema kebersamaan itu akan selalu hidup—di hati warga, di napas desa, dan di denyut nadi budaya Gunungkidul. []

Related posts