BacaJogja – Di balik perbukitan selatan Yogyakarta, ada sebuah kalurahan yang tak sekadar menjaga tradisi, tapi juga menghidupkannya dengan semangat zaman. Namanya Wukirsari, sebuah kawasan di Bantul yang kini menorehkan prestasi nasional—ditetapkan sebagai Kawasan Berbasis Kekayaan Intelektual 2025 untuk kategori Kawasan Karya Cipta oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.
Kehormatan ini tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dari akar sejarah panjang dan ketekunan warganya menjaga budaya. Kepala Kanwil Kemenkumham DIY, Agung Rektono Seto, datang langsung ke Kantor Bupati Bantul, Rabu (12/6/2025), untuk menyerahkan piagam penghargaan tersebut—buah dari pengakuan nasional yang diumumkan Menteri Hukum RI, Supratman Andi Agtas, dalam ajang Expose Kinerja Satu Dekade dan Apresiasi Kekayaan Intelektual di Jakarta.
Baca Juga: Kota Yogyakarta Bidik Juara Umum Porda DIY 2025, Targetkan 181 Medali Emas
Dari seluruh penjuru Indonesia, hanya dua nama yang disebut: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kalurahan Wukirsari.
“Ini bentuk apresiasi terhadap kekayaan budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat,” kata Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih. “Saya harap penghargaan ini semakin memperkuat kepercayaan diri masyarakat Wukirsari untuk terus berkarya.”
Sejarah Wukirsari tak bisa dilepaskan dari masa Sultan Agung. Ketika sang raja Mataram membangun kompleks makam raja-raja di Imogiri, budaya membatik ikut tumbuh dan menetap di kawasan sekitarnya. Hingga kini, jejak itu masih terasa kuat di tiga padukuhan: Giriloyo, Cengkehan, dan Karangkulon.
“Batik di sini bukan sekadar kerajinan, tapi warisan sejarah,” tutur Lurah Wukirsari, Susilo Hapsoro. “Tradisi ini sudah berjalan sejak abad ke-17 dan terus kami rawat hingga sekarang.”
Baca Juga: Rute Baru Trans Jogja ke Gunungkidul Akan Dibuka, Ini Detail Jadwal dan Armada
Tak tanggung-tanggung, saat ini ada 643 pembatik aktif yang setiap harinya menorehkan motif-motif penuh filosofi di atas lembaran kain. Ketekunan inilah yang membawa Wukirsari meraih rekor MURI tahun 2023 sebagai kawasan wisata dengan jumlah pembatik terbanyak di Indonesia.
Tak berhenti di situ, pada 2024 Wukirsari dinobatkan sebagai Desa Wisata Terbaik Dunia, menjadikan kampung tradisi ini sebagai wajah baru dari sinergi antara budaya dan pariwisata berkelanjutan.
“Wisatawan kini tak hanya datang untuk melihat, tapi juga belajar langsung membatik dari para pengrajin,” jelas Susilo. “Ini jadi sumber ekonomi baru yang tetap berpijak pada akar budaya.
Namun Wukirsari bukan hanya tentang batik. Di wilayah Pucung, seni tatah sungging—yaitu seni ukir dan hias pada wayang kulit—masih hidup dan lestari. Lebih dari 400 pengrajin aktif menjadikan seni ini tetap bertenaga di tengah arus modernisasi.
Baca Juga: Cegah Kriminalitas, Operasi Gabungan Polres Kulon Progo Sita Ratusan Botol Miras Ilegal
Dengan dua kekuatan budaya besar itu—batik dan tatah sungging—Wukirsari menjadi teladan bagaimana sebuah desa bisa melangkah ke masa depan tanpa melepaskan akarnya. Penghargaan sebagai Kawasan Karya Cipta bukan hanya bentuk apresiasi, tapi juga pengingat bahwa tradisi yang dijaga dengan cinta bisa menjelma menjadi kekuatan ekonomi dan kebanggaan identitas.
“Budaya itu bukan barang museum. Ia harus hidup, berguna, dan diwariskan,” ujar Susilo.
Dari Giriloyo hingga panggung dunia, Wukirsari membuktikan: sejarah yang dirawat, adalah masa depan yang diperjuangkan. []