BacaJogja – Di balik hiruk-pikuk dunia yang kian modern dan serba digital, Bahasa Jawa masih bergaung di bibir lebih dari 80 juta jiwa. Namun, jumlah besar itu tak serta merta menjamin kelangsungan hidupnya. Bahasa yang lahir dari peradaban agung ini justru kian terdesak, perlahan tersingkir dari percakapan generasi mudanya sendiri.
“Bahasa itu bukan sekadar alat komunikasi, tetapi ruang hidup budaya,” tegas Prof. Dr. Hendrokumoro, M. Hum., Guru Besar Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar pada Kamis (8/5) lalu di Balai Senat UGM, ia membedah tantangan dan peluang eksistensi bahasa Jawa di era modern. Menurutnya, meski bahasa Jawa menjadi bahasa daerah dengan penutur terbanyak di Indonesia, posisinya semakin terpinggirkan di tengah derasnya arus globalisasi, kemajuan teknologi, serta perubahan gaya hidup masyarakat.
Baca Juga: TYI Lecture Series: AHY Dorong Pertumbuhan Berkelanjutan Lewat Inovasi dan Keadilan Sosial
“Penggunaan bahasa Jawa kini lebih banyak terbatas pada ruang-ruang domestik seperti dalam keluarga atau komunitas tradisional,” katanya.
Prof. Hendrokumoro menegaskan, pelestarian bahasa Jawa bukan sekadar wacana nostalgia budaya. Bahasa ini adalah wadah kearifan lokal yang menyimpan filosofi, nilai etika, serta identitas yang membentuk karakter masyarakat Jawa. “Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa mengandung nilai-nilai kehidupan yang tidak lekang oleh zaman. Ia menjadi penanda identitas dan jati diri,” imbuhnya.
Ia juga mengingatkan, bahasa Jawa memiliki potensi ekonomi yang belum banyak digali. Dari sektor industri kreatif hingga wisata budaya, bahasa dapat menjadi pintu masuk yang memperkuat nilai tambah. “Kalau pelestarian ini dilakukan serius dan konsisten, hasilnya bukan hanya pelestarian budaya, tapi juga penguatan ekonomi masyarakat,” jelasnya.
Baca Juga: Pelajaran dari Komentar Tak Berempati Kecelakaan Purworejo: Pernyataan Herry Poernomo Usai Ditangkap
Dari data yang dipaparkannya, diperkirakan jumlah penutur aktif bahasa Jawa mencapai lebih dari 80 juta orang. Namun, tanpa perhatian yang serius dari akademisi, pegiat kebudayaan, dan pembuat kebijakan, angka itu bisa menjadi ilusi semata—karena bahasa yang tak digunakan, perlahan akan dilupakan.
Sekretaris Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, turut memberikan apresiasi. Ia menyebutkan bahwa Prof. Hendrokumoro adalah salah satu dari 530 Guru Besar aktif di UGM dan menjadi bagian dari 17 Guru Besar yang pernah dimiliki oleh FIB UGM. “Kepakarannya dalam bidang bahasa Jawa menjadi kekuatan penting dalam menjaga akar budaya bangsa,” katanya.
Kini, tantangan pelestarian bahasa Jawa tidak hanya terletak pada jumlah penuturnya, tetapi pada kemauan kolektif untuk tetap menjadikannya hidup dan relevan. Di ruang-ruang kelas, media sosial, hingga percakapan harian—bahasa Jawa menunggu untuk terus diberi tempat. Bukan sebagai warisan mati, tapi sebagai bahasa yang hidup dan menyatu dalam denyut zaman. []