BacaJogja – Suasana di Foodcourt Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sore itu dipenuhi sorak kagum dan tepuk tangan penonton. Bukan hanya karena permainan wayang yang apik dari para peserta Festival Dalang Cilik (FDC) 2025, tetapi juga karena penampilan istimewa dari seorang remaja yang telah dua tahun berturut-turut mencuri perhatian publik—Rafa Kusuma Atma Wibowo.
Bukan sebagai peserta lomba, Rafa tampil sebagai bintang tamu dalam sesi special performance—dan penampilannya membuat panggung menjadi miliknya seorang. Dengan membawakan lakon “Budalan Wadyabala”, Rafa menceritakan persiapan pasukan menuju medan perang dengan gaya khas dan penghayatan mendalam. Selama 15 menit tanpa jeda, penonton nyaris tak berkedip. Mereka terpukau oleh ketelitian gerakan tangannya, penyesuaian suara, hingga emosi yang ia tanamkan dalam setiap adegan.
Baca Juga: Rokok dan Vape Ilegal Senilai Rp2,5 Miliar Dimusnahkan di Yogyakarta
Yang membuat kisah ini semakin menyentuh, Rafa adalah seorang siswa kelas 9 di SLB Negeri Pembina Yogyakarta yang menyandang Down Syndrome. Di usia empat tahun, Rafa sudah jatuh cinta pada dunia pewayangan melalui rekaman video. Ketertarikannya tumbuh menjadi kegemaran, lalu menjadi panggilan jiwa. Dari sekadar meniru, ia kini mampu membawakan lakon dengan struktur cerita dan penguasaan panggung yang mengagumkan.
“Down Syndrome itu peniru yang hebat,” ujar sang ayah, Ludy Bimasena. “Awalnya hanya untuk terapi bicara, karena dia harus menyesuaikan antara pendengaran, gerakan tangan, dan rasa. Tapi ternyata wayang menjadi dunianya sendiri.”
Menurut Ludy, Rafa belajar bukan hanya dari mendengar, tapi juga dari mengamati dan merasakan. “Sekarang Rafa bisa membedakan karakter wayang berdasarkan bentuk dan irama gamelan,” tambahnya. Ia bahkan sudah terbiasa tampil di hadapan publik dan menunjukkan perkembangan signifikan dari tahun ke tahun.
Baca Juga: Keracunan Massal MBG Jadi Sorotan, Ini Penjelasan Lengkap Pakar Keamanan Pangan UGM
Galang Prastowo, M.A., Ketua Panitia Festival Dalang Cilik UNY 2025, mengamini hal itu. “Tahun lalu Rafa hanya tampil lima menit, gerakannya masih kaku. Tapi tahun ini luar biasa—durasi 15 menit dengan gerakan yang lebih variatif. Kemampuannya benar-benar meningkat drastis.”
Festival Dalang Cilik tahun ini memang menyedot antusiasme. Dari 76 pendaftar, hanya 18 dalang cilik yang lolos seleksi dan tampil di panggung. Mereka berasal dari berbagai daerah di DIY, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Namun, dalam semaraknya kompetisi itu, hadirnya Rafa membawa makna lebih dalam—bahwa seni bukan soal siapa yang lebih unggul, melainkan siapa yang bisa menyentuh hati.
Rektor UNY, Prof. Sumaryanto, menggarisbawahi pesan tersebut. “Penampilan Rafa adalah bukti bahwa kesenian adalah ruang yang inklusif. Tidak ada diskriminasi di sini. Kami sangat bangga bisa menjadi bagian dari proses tumbuhnya seniman muda seperti Rafa.”
Baca Juga: Tragis, Bocah Meninggal Tenggelam di Kubangan Bekas Tambang Pasir di Bantul
Bagi Ludy, panggung itu bukan sekadar ruang tampil. Ia adalah panggung kehidupan, tempat Rafa menunjukkan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk mencinta, berkarya, dan didengar. “Saya berharap Rafa bisa jadi contoh bahwa anak berkebutuhan khusus pun layak diberi kesempatan yang setara, terutama dalam dunia seni dan budaya.”
Dengan wayang sebagai bahasanya, Rafa tak hanya bercerita tentang ksatria dan peperangan. Ia sedang menceritakan sesuatu yang jauh lebih dalam—tentang keberanian untuk bermimpi, dan tentang cinta yang tak kenal batas. []