BacaJogja – Tebing Breksi di Prambanan, Sleman, tak hanya memanjakan mata dengan panorama eksotis, tetapi juga menyuarakan pesan mendalam tentang kelestarian alam melalui pertunjukan “Batu Breksi Bernyanyi”, Minggu (25/5/2025). Di tangan komposer kontemporer Dr. Memet Chairul Slamet bersama grup etnik Gangsadewa dan para pekerja Tebing Breksi, bebatuan yang dulu ditambang kini menjadi media cerita yang menggugah nurani.
Pertunjukan berdurasi 40 menit ini tidak sekadar menampilkan musik dan tari, tetapi menyajikan sebuah drama ekologis yang menyentuh: tentang kerusakan, peringatan, dan penebusan alam. Drama dibuka dengan gambaran Breksi yang masih perawan dan asri, lalu memasuki fase kelam ketika aktivitas penambangan mulai merusak harmoni alam.
Ketegangan mencapai puncaknya ketika sosok “Dewi Peringatan” muncul. Lewat gerakan tari dan dentingan batu yang menyerupai suara alam, sang dewi memberi peringatan: jika eksploitasi tidak dihentikan, kehancuran akan menjadi tak terelakkan. Pertunjukan ditutup dengan kehadiran “Dewi Kemakmuran”, simbol dari harapan baru yang hadir ketika manusia kembali hidup selaras dengan alam. Penampilan fire dance yang memukau menjadi penutup yang penuh optimisme.
Baca Juga: Tragedi Petilasan Pagar Suruh Kebumen: Ketika Sakit Hati dan Pesugihan Menuntun ke Maut
“Batu Breksi yang dulu jadi objek eksploitasi, kini menyuarakan rintihan sekaligus harapan,” ungkap Dr. Memet Chairul Slamet.
Menurut Memet, pertunjukan ini adalah bentuk respons seni terhadap isu lingkungan yang semakin mendesak. Ia ingin masyarakat tak hanya menikmati keindahan alam, tetapi juga merenungkan tanggung jawab untuk melindunginya.
Hal yang menarik, pementasan ini turut melibatkan para pekerja Tebing Breksi—mulai dari sopir jeep wisata, penjual makanan, hingga tukang bangunan—yang selama ini hanya menjadi tuan rumah dan penonton.
“Latihan cuma lima kali dan langsung tampil. Ternyata mereka bisa! Ini luar biasa,” ujar Pengelola Wisata Tebing Breksi, Kholiq Widiyanto.
Baca Juga: Lakuning Rembulan: Makna Weton Minggu Pahing dalam Kalender Jawa
Kholiq berharap, pertunjukan perdana ini dapat dikembangkan menjadi atraksi reguler mingguan atau bulanan, agar pesan moral yang diusung dapat terus menggema di antara bebatuan Breksi.
“Batu Breksi Bernyanyi” juga menjadi bagian dari peringatan Satu Dasawarsa Kawasan Wisata Tebing Breksi yang jatuh pada 30 Mei 2025. Selama sepuluh tahun terakhir, kawasan bekas tambang ini telah menjelma menjadi destinasi wisata unggulan DIY, dikenal karena keindahan alam dan panggung terbuka yang megah.
Kolaborasi dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menjadi kekuatan utama dalam pertunjukan ini. Gangsadewa, grup musik etnik binaan Dr. Memet, menghadirkan suara batu sebagai instrumen utama. Meski bukan berasal dari batuan Breksi—melainkan batu keras lain karena Breksi berupa endapan piroklastik—suara yang dihasilkan tetap menghadirkan magis tersendiri.
Dalam pementasan ini, narasi dibagi dalam empat babak. Dua babak awal—keasrian dan kehancuran alam—sudah digambarkan melalui relief pada dinding batu Tebing Breksi. Dua babak terakhir menceritakan peringatan dan harapan, menggambarkan transisi dari kehancuran menuju harmoni kembali.
Baca Juga: Mengajar Subuh, Pulang dengan Luka: Ketika Guru Ngaji di Bantul Menjadi Korban Pelecehan Seksual
Selain pertunjukan ini, rangkaian peringatan satu dasawarsa Tebing Breksi telah dimulai sejak awal Mei. Acara dikaitkan dengan tradisi Merti Desa Kalurahan Sambirejo. Pada Sabtu (24/5) lalu digelar pentas jatilan, dan pada 30 Mei mendatang akan digelar wayang kulit semalam suntuk, didahului dengan syukuran makan ingkung bersama warga.
Melalui pertunjukan “Batu Breksi Bernyanyi”, Tebing Breksi tak sekadar menjadi tempat wisata, tetapi juga ruang refleksi tentang bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam. Dari batu-batu sunyi, suara teguran kini bergema. []