BacaJogja – Pagi itu seharusnya berjalan seperti biasa. Tapi di gang sunyi Bantul, sebuah kejahatan mengoyak ketenangan seorang guru ngaji. Pakaian tak lagi jadi tameng, ketika pelaku pelecehan seksual tak mengenal moral, hanya nafsu yang brutal.
Subuh baru saja usai, dan suasana masjid di pinggiran Bantul masih terasa hangat oleh lantunan ayat suci. Seorang perempuan bercadar melangkah keluar dengan langkah tenang, menenteng buku-buku Iqra’ yang biasa ia gunakan untuk mengajar anak-anak. Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia berjalan pulang menyusuri gang kecil menuju kosnya. Tapi hari itu berbeda.
Perempuan bercadar ini mengisahkan ceritanya di media sosial merapi_news dan meminta agar namanya disembunyikan. “Saya sedang main HP waktu itu, lalu sadar ada motor mendekat pelan dari belakang,” kisahnya pelan.
Baca Juga: Jejak Terakhir di Sungai Bulus Bantul: Kisah Kakek dan Jimat yang Dibuang
Nalurinya sebagai perempuan menyala. Ia segera menyembunyikan ponselnya dan bersiap berjaga-jaga. Namun, kehati-hatian itu tak mampu mencegah kejadian pahit yang terjadi beberapa detik kemudian.
Pria tak dikenal itu menghentikan motornya dan tanpa sepatah kata, langsung melakukan tindakan bejat—memegang dadanya, lalu menarik cadar yang ia kenakan hingga terlepas. Semuanya terjadi begitu cepat, namun cukup untuk meninggalkan luka yang dalam.
Dengan langkah terguncang dan air mata bercucuran, guru ngaji itu berlari pulang ke kos. Di sana, ia langsung mengabari ibu-ibu jamaah masjid yang mengenalnya. Tak lama berselang, muncul kabar lain yang mengguncang: dua anak kecil dari RW tetangga juga menjadi korban pelecehan seksual dan perampasan ponsel oleh pelaku yang diduga sama.
Baca Juga: Dampak Kebakaran Pabrik Garmen Sleman: Ekspor Tertunda, Ribuan Pekerja Terancam PHK
“Saya masih ingat wajahnya. Waktu kabur, dia sempat menoleh. Tatapannya tak akan saya lupa,” katanya dengan suara bergetar.
Ia telah melaporkan kejadian ini ke Polsek setempat. Kini, ia hanya bisa berharap: agar pelaku segera ditangkap, agar keadilan berpihak, agar tak ada lagi korban yang harus merasakan rasa takut yang sama.
Pelecehan Bukan Soal Pakaian
Kisah ini menjadi tamparan keras bagi masyarakat yang masih gemar menyalahkan korban. Sang guru ngaji mengenakan cadar—busana yang dianggap paling ‘tertutup’ dalam pandangan banyak orang. Namun tetap saja, ia tak luput dari menjadi sasaran.
Ini bukan soal pakaian. Ini soal kejahatan. Soal hasrat menyimpang yang harus dihentikan. Menyalahkan korban hanya memperpanjang luka dan membungkam suara-suara yang ingin bersuara.
Kini, di tengah trauma yang membayang, ia memilih untuk tetap mengajar. “Saya tak ingin anak-anak kehilangan semangat belajar agama. Tapi saya juga ingin semua lebih waspada,” tutupnya.
Mari kita hentikan budaya menyalahkan korban. Mari fokus pada pelaku. Sebab kejahatan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun—apalagi pakaian. []